09 Februari 2009

REFORMASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS POLIGAMI

REFORMASI HUKUM ISLAM
TERHADAP STATUS HUKUM POLIGAMI

(oleh: Asy’ari Hasan, M.AG)

A. Pendahuluan
Genderang pembaharuan hukum Islam yang mulai berdentum pada awal abad 20 membawa negara-negara muslim ke arah kehidupan hukum yang lebih baik. Demikian pula halnya dengan hukum keluarga Islam yang disebut-sebut sebagai Indonesia syari’ah.[1] Pembaharuan di bidang ini berimplikasi luas pada tatanan keluarga ke arah remedialisme, bahkan lebih jauh pada tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Satu hal yang perlu dicacat, mengapa baru pada fase ini gerakan pembaharuan baru dimulai, adalah adanya kenyataan bahwa negara-negara muslim ini baru saja satu persatu lepas dari hegemoni dan imperialisme Barat.[2] Dengan demikian wajar kiranya mereka baru membenahi dan mencoba memproduksi serta mereformasi berbagai konstitusi dan undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara, termasuk hukum negara.
Dalam upaya reformasi ini fokus utamanya mengarah pada status personal yang selama ini masih diatur dalam ketentuan hukum Islam. Mayoritas pemerintah negara muslim menjalankan versi hukum kekeluargaan yang sudah dikodifikasi, yang sekaligus isinya menyimpang secara drastis dari doktrin madzhab hukum yang telah mapan. Untuk mengurangi keberatan kaum konservatif, reformasi sering dilakukan secara tak langsung melalui jalur prosedural. Sebagai contoh hukum baru yang menuntut persyaratan bahwa pernikahan harus dicatat agar sah secara hukum, dan bahwa pasangan harus sudah mencapai usia minimum tertentu, adalah untuk menghalangi pernikahan dini dan perkawinan paksa.[3] Begitu juga tentang poligami dan perceraian yang oleh pemerintah negara muslim mensyaratkan agar perkawinan dan perceraian tunduk pada formasi birokrasi dan kondisi tertentu.
Lokomotif reformasi hukum keluarga adalah Turki, ketika negara ini menerbitkan Ottonom Law Of Family Right (Qonun Qasshas Al Huquq Al’Alih Al-Usmaniyah), kemudian diikuti negara lain. Secara umum, substansi undang-undang hukum keluarga di dunia Islam modern ini telah beranjak dari konstruksi wacana fiqih klasik dan telah mencoba memecahkan persoalan ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga sehingga hak-hak perempuan dalam perkawinan (marital right) diakui.[4]
Walaupun demikian masih juga ada negara yang tetap memakai kitab-kitab fiqih klasik sebagai undang-undang hukum keluarga. Dalam hal ini Anderson mencatat tipologi-tipologi dari perundang-undangan yang ada di berbagai dunia Islam modern. Pertama, negara yang sama sekali tidak melakukan perubahan dan masih tetap memperlakukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab fiqih klasik dalam madzhab yang dianut, dimana syariat dijadikan hukum utama. Kedua, negara yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan menggantikannya dengan hukum sipil Eropa yang sekuler. Ketiga, negara yang berusaha mengkompromikan kedua kecenderungan yang ada tersebut yakni memperlakukan hukum keluarga Islam yang telah diperbaharui.[5]

Salah satu tema reformasi hukum keluarga Islam yang menarik untuk diamati adalah status hukum poligami. Hal ini dikarenakan poligami sering dianggap sebagai satu hal yang paling “memalukan” dan melanggar HAM dari ajaran Islam, sama dengan perbudakan. Terkait dengan hal ini, makalah ini mencoba membahas dan menganalisi tentang poligami dan berbagai pendapat yang terdapat dalam fiqih klasik.

B. Poligami dan Hukum Islam
Praktek seorang laki-laki memiliki beberapa seorang istri yang biasa disebut poligami an terkadang diseut juga dengan Istilah Poligini) merupakan masalah problematik, krusial, kontroversial dalam masyarakat modern. Disetiap belahan dunia, poligami menjadi wacana menarik untuk didiskusikan. Ia tidak hanya menjadi objek perdebatan di dunia Barat, dimana mereka menganggap poligamilah penyebab kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam. Sementara di dunia Islam, setelah mendapat pengaruh dunia Barat ia menjadi objek diskusi yang kontroversial yang tiada henti di kalangan terpelajar.[6] Muncul diskursus apakah poligami berlaku secara normatif atau kontekstual.
Mengapa wacana ini menjadi menarik dan bahan kajian bagi semua elemen dalam masyarakat dalam setiap waktu. Dalam hal ini Rubya Mehdi melihat paling tidak ada tiga alasan dasar untuk ini yaitu: (1) Muhammad sebagai Nabi dan tauladan bagi umat Islam menikahi sejumlah wanita; (2) Adanya sistem selir (gundik) sebagai tambahan di luar keempat istri yang dapat menjadi pasangan hubungan seksual dengan para budak; dan (3) Karena kesamaran makna ayat tentang poligami.[7]
Sebagaimana dikemukakan banyak penulis bahwa poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata Politu atau Polus yang artinya banyak dan Gamen atau Gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian absah untuk mengatakan bahwa poligami berarti perkawinan banyak, dan bisa jadi sejumlah yang tak terbatas.[8] Dengan demikian term poligami ini sebenarnya memiliki pengertian umum yaitu memiliki dua orang atau lebih suami atau istri pada saat yang sama.[9] Namun pada perkembangannya istilah ini mengalami penyempitan makna yaitu suami yang memiliki istri dua atau lebih, lazim disebut poliandri.[10]
Dalam Islam poligami merupakan praktek yang problematis dikarenakan ada batasnya yaitu empat istri. Dengan demikian ia adalah “bebas terbatas”. Namun walaupun relatif sedikit ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan. Kalau tafsir itu berlaku secara mainsteam maka sebenarnya tidak ada perbedaan yang fundamental mengenai substansi poligami antara Islam dan non Islam terkait jumlahnya. Adanya perbedaan jumlah ini disebabkan perbedaan dalam memahami ayat Al-Nisa’ 4: 3, sebagai dasar penetapan poligami yang berbunyi:
وان ﺧفتم الاتقسطوافىاليتمى فانكحواماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع فانﺧفتم الاتعدلوا فواحدة اوماملكت ايمانكم ذلك ادنىالاتعولوا (النساء : 4 : 3).
Dalam pandangan kaum tradisionalis dan sekaligus mainstream fiqih klasik ayat al-Qur’an ini menjadi landasan tiologis yang menjustifikasi adanya praktek poligami. Para mufasir semisal al-Thabari dan al-Jasshash, mengatakan bahwa ayat al-Nisa’ 4:3 ini terkait erat dengan nasib perempuan dan anak yatim menurut al-Thabari, diantara pendapat ulama yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini terkait dengan kekhawatiran tiadanya wali yang bisa berbuat adil terhadap anak yatim. Maka kalau demikian, kekhawatiran tidak bisa berbuat adil ketika poligami, maka cukuplah dengan menikahi budak wanita yang dimilikinya, sebab hal itu akan lebih baik memungkinkan tidak akan berbuat penyelewengan.[11]
Menurut al-Jashash, ayat tersebut berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya. Hal ini didasarkan pada hadis dari Urwah yang berisi larangan menikahi seorang anak yatim yang ada di bawah pengampunannya hanya karena alasan kecantikan dan harta, seorang wali bisa jadi tidak bisa berlaku adil. Karena itu lebih baik menikahi wanita lain. Dalam pandangan al-Jashash, larangan menikahi anak yatim itu begitu kuat. Hal ini terlihat dengan dimasukkannya materi ini pada bab tazwij al-Sghar (pernikahan anak di bawah umur).[12]
Hubungannya dengan status melakukan poligami menurut al-Jashash hanya bersifat boleh (mubah). Kebolehan ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil, baik dimensi nafkah bathin maupun dhahir. Memenuhi nafkah bathin yang meliputi rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan lain sebagainya secara adil, sangat berat. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat al-Nisa’ 4: 129 yang berbunyi:
ولن تستطيعواان تعدلوابين النساء ولوحرصتم فلا تميلواكل الميل فتذروهاكالمعلقة وان تصلحوا وتتقوافان الله كان غفورارحيما (النساء : 4 : 129).
Al-Zamakhsari mengartikan ayat al-Nisa’ 4: 3 sebagai syarat boleh tidakya menikahi anak yatim. Jika ditakutkan tidak bisa berbuat adil maka dilarang menikahi mereka. Kata Thaba dimaknai sebagai yang halal. Sebab sudah menjadi tradisi orang Arab pra-Islam, menikahi perempuan yatim di bawah pengasuhannya, semata-mata dilandasi kecantikan atau hartanya, dengan tanpa mengurangi mahar.[13]
Dalam pandangan al-Zamakhsari perempuan yang boleh dinikahi bukan berjumlah empat akan tetapi sembilan. Jumlah kutipan ini menurut jalannya penjumlahan dua ditambah tiga ditambah empat. Sementara tuntutan berbuat adil pada istri hanya sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri melakukan sesuatu di luar kemampuannya termasuk perbuatan aniaya (dulm). Padahal Allah SWT berkata:

ﻮﻤﺎﺮﺒﻚ ﺒﻈﻼﻢ ﻠﻠﻌﺒﻴﺪ
Ahli tafsir lain yang bisa disebut di sini adalah al-Qurtubi, Ibnu Qayyim dan al-Syaukani.[14] Secara garis besar mereka memahami pengertian dari ayat di atas sebagai keharusan berbuat adil dalam hal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan dan memberi nafkah sebagai syarat kebolehan poligami. Hal yang mungkin membedakan pendapat di antara mereka adalah tentang status budak perempuan. Menurut al-Qurtubi untuk memperistri budak harus dinikahi dahulu, sementara al-Syaukani tidak mensyaratkan hal itu.
Terkait dengan haramnya menikahi wanita lebih dari empat, al-Syaukani mencatat bahwa hal itu lebih didasarkan pada dua hal; Pertama, poligami lebih dari empat bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab, baik dari tata bahasa umum maupun tinjauan nidham al-Qur’an. Dengan alasan ia mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan boleh mempunyai istri lebih dari empat adalah pendapat yang tidak dilandaskan pada pemahaman bahasa Arab yang benar.
Pandangan mufassir yang juga ahli fiqih tersebut, selaras dengan kitab-kitab fiqih klasik.[15] Kalau dilacak secara teliti, mainstream pendapat yang terangkum dalam kitab fiqih semuanya menghukumi bahwa poligami itu boleh dijalankan. Bahkan kebanyakan dari kitab-kitab ini tidak memberikan syarat kebolehannya, hikmah, atau alasan-alasan yang logis yang melatar belakangi kebolehannya. Wajar kiranya jika pada akhirnya, bagi kalangan ortodoksi marak melakukan praktek poligami tanpa ada motif pendukung yang sebenarnya harus dipertimbangkan. Otoritas teks telah mempengaruhi “suhu badan” mereka untuk secara bebas melakukan praktek poligami.
Alur pemikiran fiqih yang positivistik juga telah mengantarkan adanya kebolehan dijalankannya praktek poligami, asalkan syarat-syarat dhahir bisa terpenuhi yaitu kemampuan berbuat adil dalam pengadaan nafkah dan akomodasi. Jarak untuk mengatakan tidak ada dari ahli fiqih klasik yang mensyaratkan adanya keadilan dalam hal kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, sebagai syarat kebolehan melakukan poligami. Latar belakang munculnya pendapat umum ini kentara sekali didasarkan pada perkataan nabi nabi yang mengantarkan pada pemahaman bahwa seorang Muhammad sendiri tidak mampu berbuat adil dalam hal kebutuhan batin. Beliau misalnya mengatakan “ya Tuhanku inilah kemampuanku dalam memberikan pembagian kepada istri-istriku, karena itu janganlah memaksakan untuk berbuat adil sesuatu yang di luar kemampuanku”.[16]
Elektisme poligami dalam kitab fiqih ini mungkin juga didasarkan pada logika berfikir berbalik; bahwa keadilan seseorang hanya bisa diukur ketika ia melakukan poligami. Orang tidak bisa mengaku adil dan bijaksana terhadap perempuan misalnya, ketika ia hanya memiliki seorang istri. Dibutuhkan ruang perbandingan untuk menjadi seorang yang adil, yang dalam kontek ini adalah dengan poligami. Dengan paradigma demikian wajar jika kiranya kalau pendapat umum fiqih klasik menganggap absah poligami. Dan seandainya ada pro dan kontra hanya seputar kebolehan poligami lebih dari empat yaitu sembilan. Di samping alasan ini, dominasi laki-laki dalam menafsirkan teks agama juga mempermulus “konsepsi menjajah” ini dengan menganggap legitimate praktek ini.[17]
Seiring perubahan waktu, pandangan mufasir dan ahli fiqih pun bergeser. Ahli tafsir modern semisal al-Maraghi berpendapat bahwa pada esensinya, kebolehan poligami merupakan kebolehan yang diperketat. Sebab ia hanya boleh dalam keadaan darurat. Di antara alasan yang membolehkan adalah istri mandul, kemampuan seks ekstra tinggi, suami berstatus kaya raya dan kalau jumlah wanita melebihi jumlah laki-laki.[18]
Sementara al-Sabuni lebih melihat pada hikmah adanya poligami yang menurutnya didasarkan pada: (1) Mengangkat harkat martabat wanita (2) Untuk keselamatan dan terjaganya keluarga dan (3) Untuk keselamatan secara umum. Mengenai batasannya, menurut ijma’ ulama, hanya dibolehkan maksimal empat dan hanya dalam keadaan darurat dan disyaratkan jika mampu berbuat adil.[19]
Kalau ditarik kesimpulan bahwa eksistensi kebolehan melakukan poligami dilandasi sebuah syarat yang cukup berat yaitu kemampuan berbuat adil. Dari kemampuan berbuat adil ini, masih dipilah apakah secara materi saja yang disyaratkan. Begitu peliknya maka logis ketika al-Athar menulis sejumlah akibat dari tindakan poligami yaitu; (1) Menimbulkan kecemburuan antara istri; (2) Kekhawatiran dari istri kalau suami tidak bisa berbuat bijaksana dan adil; (3) Anak-anak dari berlainan itu berkelahi dan (4) Kekurangan ekonomi. Kalau ini muncul dapat dibayangkan bahwa yang terjadi adalah kekacauan dan kedisharmonisan.
Implikasi negatif di atas muncul sepertinya disebabkan dari kekurangan suami memenuhi syarat yang diharuskan al-Qur’an. Berangkat dari sini menjadi mudah dipahami kalau para pemikir dan ulama modern cenderung memperketat kebolehan poligami, bahkan sampai melarangnya (walaupun kondisional sifatnya). Titik tolak dari sini adalah sulit untuk mengatakan tak mungkin bisa berbuat adil sesuai tuntutan al-Qur’an surat al-Nisa’ 4: 3.
Namun demikian Amer Ali memberikan catatan bahwa poligami bisa saja dilakukan kalau masyarakat menuntut adanya demikian, misalnya jumlah perempuan yang melimpah. Dengan demikian keberadaannya tergantung pada situasi dan kondisi dalam artian pada masyarakat yang kurang jumlah wanitanya maka ia tak dibutuhkan lagi. Bahkan bisa jadi ia akan hilang sama sekali ketika pola berfikir masyarakat telah mengubah persepsi dunia.
Ali lebih lanjut mengkritik sikap orang Barat yang memandang poligami sebagai bukan saja tidak halal (ilegal), akan tetapi juga tak bermoral. Dalam pandangannya, lahirnya intuisi tak bisa lepas dari situasi dan kebutuhan sebuah waktu. Dalam paradigma inilah mesti praktek poligami dipahami. Bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami adalah terkait dengan nilai kepentingan sejarah yang berlangsung di Arab ketika itu.[20]
Muhammad Abduh memandang bahwa poligami adalah tidak boleh dan haram hukumnya. Ia bisa saja dilakukan dengan syarat istri tidak mampu mengandung dan melahirkan. Berkenaan dengan persyaratan yang ada pada surat al-Nisa’ 4: 3 menurut Abduh setidaknya poligami dalam tiga status hukum: Pertama: boleh jika sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman; Kedua, syarat-syarat itu terlalu berat untuk ukuran manusia sehingga tidak mungkin untuk dicapai; Ketiga: Bagi yang tidak mampu memenuhi persyaratan itu dituntut untuk melakukan monogami. Mendasar pada uraian ini, Abduh kemudian menarik kesimpulan bahwa adanya kenyataan sulitnya mencapai kemampuan memenuhi syarat-syarat itu dapat dipahami bahwa tujuan utama dari syari’ah dalam hal perkawinan adalah monogami.[21]
Sedikit berbeda dengan Abduh, Rasyid Ridla beranggapan bahwa melakukan poligami haram hukumnya, kalau suami tidak bisa berbuat adil. Namun demikian kalau dihubungkan dengan ayat al-Nisa’ 4: 3 maka ada pemahaman bahwa kebolehan melakukan poligami merupakan sebuah tindakan yang benar-benar darurat dan sangat terpaksa. Menurut Ridla, tujuan agama adalah kemaslahatan atau kesejahteraan dan mencegah kesusahan. Sehingga tindakan darurat boleh dikerjakan kalau hal tersebut betul-betul terpaksa.[22]
Sementara Fazlur Rahman berpendapat bahwa kebolehan mempunyai istri lebih dari satu merupakan suatu pengecualian karena keadaan tertentu. Ada dua solusi memuaskan yang diberikan oleh al- Qur’an terkait dengan hal ini yaitu: pertama, bahwa poligami yang terbatas hukumnya boleh dan; kedua, kebolehan berpoligami diatur dengan sebuah moral berupa keadilan. Dengan ini al-Qur’an berharap agar suatu masyarakat berjalan sesuai dengan tuntutan zamannya.

C. Analisis Status Hukum Poligami (sebuah tawaran reformasi)
Di depan telah dipaparkan beberapa pandangan mufassir, fuqaha dan cendekiawan mengenai kedudukan hukum poligami. Dari deskripsi itu nampak jelas adanya silang pendapat mengenai boleh tidaknya poligami; jumlah maksimal; syarat-syarat kebolehan dan detail-detail lain yang melingkupinya. Para pemikir klasik cenderung membolehkan poligami walaupun disertai adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti mampu berbuat adil. Perbedaan yang terasa diantara mereka terkait jumlah maksimal yaitu ada yang membatasi empat tahun ada juga yang secara permisif membolehkan sampai sembilan. Sementara pemikir mutakhir (Modern) cenderung untuk mempersempit kebolehan poligami, bahkan ada yang melarang sama sekali.
Dari berbagai pendapat baik secara elektik membolehkan maupun yang secara ekstrim melarang tersebut, dapat diambil satu pemahaman bahwa masalah poligami memang masalah yang harus disepakati hukum ikhtilafnya. Dengan demikian adanya dua kutub pemahaman memang tidak dapat dihindarkan dan konspirasi mencari dalih adanya perubahan sosial, politik, dan juga isu kesetaraan jender tidak akan merubah secara frontal pandangan tradisional mengenai poligami. Sebab didapati juga pemikir mutakhir yang membolehkan secara permisif dari tradisi yang dianggap melecehkan perempuan ini.
Dengan menggunakan ini pengelompokkan yang ditawarkan oleh Tahirr Mahmood yaitu; (1) Boleh poligami secara mutlak; (2) Poligami dapat menjadi ancaman cerai; (3) Poligami harus ada izin dari pengadilan; (4) Pembatasan poligami lewat kontrol sosial; (5) Poligami dilarang secara mutlak (6) Dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan poligami.[23] Kita dapat membuat penilaian-penilaian tentang mana yang progresif, mana yang evolutif dan mana yang resistentif terhadap pembaharuan dari pendapat para ulama tersebut. Hitungan pengelompokkan ini menunjukkan bahwa semakin besar angka maka akan semakin progresif, sementara semakin kecil angka maka ia semakin resisten. Kebolehan poligami secara mutlak adalah mewakili wacana pemikiran tradisional yang kolot sementara larangan untuk berpoligami mewakili pemikiran progresif.
Terlepas dari hal itu di zaman globalisasi ini terutama munculnya gerakan feminis maka setidaknya perlu peninjauan kembali status poligami atau dilakukan reformasi yang dimaksudkan untuk menjangkau dan menjawab tantangan zaman agar responsif dan tidak anakronistik. Motivasi dari usaha ini timbul dilatar belakangai faktor internal dan eksternal. Bagaimana kedua hal ini mendorong lahirnya reformasi setidaknya bisa dilihat pada dua hal yaitu; adanya perubahan fatwa hukum dari masa ke masa dan intervensi kebijakan negara atas substansi Islam.
Pada kasus yang sama usaha memperbaharui UU Hukum Keluarga Islam khususnya masalah poligami yang dianggap ekstrim juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Maka dalam kontek ini setidaknya ada dua bentuk sifat reformasi yaitu; Intra doctrinal reform dan extra doctrinal reform. Yang pertama dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa madzhab atau mengambil pendapat lain dari madzhab yang dianut, sementara yang kedua dengan cara memberikan penafsiran yang ada. Di samping kedua bentuk ini sebenarnya ada dua hal karakter reformasi lain yaitu regulattory reform atau legislasi dan kodifikasi. Kedua sifat terakhir ini cenderung kepada proses mengacarakan; mengatur administrasi, dan mengkodifikasi hukum yang ada. Dengan demikian kedua sifat terakhir adalah sifat dari proses bagaimana rumusan itu diundangkan.
Terlepas dari itu, tak bisa dipungkiri memang ada satu dilema yang harus dihadapi ketika reformasi dilakukan bahwa usaha ini akan menghadapkan dua pendapat ekstrim yaitu yang menginginkan agar ia tetap Islam dan pendapat yang mengatakan perlu adanya perubahan total. Lantas bagaimana kedua kepentingan ini dijembatani dan terakomodir dalam reformasi hukum yang dilakukan. Dalam amatan Anderson, setidaknya ada empat metode yang bisa digunakan menyelesaikan masalah ini yaitu.
a. Prosedural: memfokuskan pada persoalan-persoalan prosedural dengan meninggalkan pembahasan substansi hukum secara utuh.
b. Melakukan kompromi antar madzhab hukum dalam rangka menyelesaikan atau membuat UU. Metode ini terkenal dengan istilah talfiq.
c. Memberikan interpretasi baru terhadap teks yang sudah ada, guna menemukan hukum baru. Jalan ini ditempuh jika upaya takhayyur dirasa tidak efektif. Dalam Islam usaha ini biasa disebut ijtihad.
d. Menggabungkan atau mengkombinasikan metode-metode di atas untuk kemudian dilakukan upaya pemberlakuan atas hukum yang telah dipilih. Lebih populer upaya ini disebut legislasi.[24]
Point keempat ini merupakan langkah yang signifikan dimana legislasi hukum memberikan kekuatan bagi peraturan yang diterapkan sehingga ia mampu dan mempunyai konsekuensi hukum (sanksi hukum) yang dilaksanakan. Legislasi ini bisa mengambil UU dalam bentuk hukum keluarga (Khususnya mengenai status poligami).
Dalam analisis Tahir Mahmood, secara umum madzhab hukum yang dianut oleh suatu negara muslim digunakan untuk menyelesaikan problematika hukum. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu yang berbeda dengan madzhab mayoritas tersebut, maka metode pembaharuan Islam dalam hal ini harus diadaptasikan. Dalam amatannya setidaknya ada beberapa metode yang bisa digunakan yaitu: Takhayyur, talfiq, siyasah, syar’iyah dan ijtihad.[25]
Mendasar paradigma Anderson dan Tahir Mahmood ini akan nampak bahwa metode yang digunakan mereformasikan status hukum poligami dengan modifikasi di sana-sini, bisa dibaca dan dipahami. Bahkan kalau diamati secara seksama proses dan latar belakang pembentukan masing-masing hukum tersebut step by step menggunakan kombinasi dua skema model metode ini. Mungkin yang membedakan antara satu dengan yang lainnya adalah proporsi: dominan tidaknya satu metode digunakan.

D. Penutup
Dari uraian di atas kita dapat menarik suatu konklusi bahwa adanya reformasi dalam hukum Islam (hukum keluarga) tentang masalah poligami perlu dilaksanakan dalam rangka membangun peradaban yang lebih manusiawi di dalam menempatkan posisi perempuan. Berbagai dampak perubahan sosial-politik dan ekonomi sangat mempengaruhi proses reformasi dan hasil yang dicapai.
Tentunya dalam aplikasi reformasi tersebut para Ulama haruslah mempelajari kembali secara umum teks maupun kontekstualitas yang ada pada masyarakat untuk membuat suatu tatanan hukum baru tentang poligami. Reformasi, supremasi atau apapun istilahnya adalah tidak akan mungkin tercapai dalam memperbaharui hukum Islam terutama hukum poligami jika para ulama masih tetap bersikokoh terhadap pendapat individu maupun mazhab tertentu, dalam hal ini perlu kiranya para Ulama mencoba menerapkan metode yang ditawarkan oleh Anderson dan Tahir Mahmood.
DAFTAR BACAAN

Antony Allat, Introduction, dalam Chilibi Mallat dan Jane Cannors (ed), Islamic Family Law, USA: Graham and rotman, 1990
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, Richmond: Curzoon Press Ltd, 1994
Fazlur Rahman, “A Survey of Modenization of Muslim Family Law”, dalam International Journal of Middle East Studies, II. 1980
Khoiruddin Nasution, Riba dan poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
_________________, Perkawinan Sirri dan Antar Agama: Fenomena Perkawinan Indonesia”, makalah pada seminar “Islam dan tantangan modernitas dalam perkawinan” KMA PBS IAIN Sunan Kalijaga tanggal 22 November 1997.
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, New Delhi: Academi Of Law and Relegion, 1987
_________________, Family Law Reform In The Muslim world” New Delhi: The Indian Law Intitute, 1972.
JND. Anderson, “Modern Trend in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, dan International and Comparative Law Quertely, No. 2 1971
_________________, Islamic Law In the Modern World, London: Sweet and Maxmall Ltd, 1956
Raja El-Nimr, “Perempuan dalam Hukum Islam”, May Yamani (ed), Feminisme dalam Islam, terj., Purwanto Jakarta: IKAPI, 2000
Labib MZ., Pembelaan Umat Muhammad, Surabaya: Bintang, 1986
Abdurrahim, Umran, Islam Dan Keluarga Berencana, terj. Muh. Hasyim, Jakarta: Lentera, 1997.
Ibn Jarir Al-Thabari, Jmi’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Dar Fikr, 1958
Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar Kitab al Islamiyah, tt
Al-Zamakhsari, Al-Khassyaf, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966
Al-Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: dan Kitab al-Arabiyah, 1997

Ibnu Qoyyim, Tafsir Ibnu Qayyim, Beirut: Dar Fikr, 1988
Al-Syaukani, Fatkh Al-Qadir, Beirut: Dar Fikr, 1973
Muhammad bin abdullah al Dimsiqi, Rahmat Al Ummar Fi Ihtilaf Al-‘Aimah, Beirut: Dar Fikr, tt
Taqiyyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Dimsiqi, Kifayat al-Akhyar, Surabaya: Syirkah Nur Aisya, tt
Ibrahim al-Bajuri ‘ala Ibnu Qasim, Surabaya: Maktabah: Hidayah, tt
Muhammad Satha’ al-Dimyati, I ‘anat al Talibin, Beirut: Dar Fikr, ‘993 Abi Zakariya al Anshari, Fath al-Wahhab Sarh Minhaj al-Thulab, Jeddah: Al-Haramain, tt
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir: Mustafa al-Bab al-Habibi, 1963
Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Makkah: Dar Qur’an Karim, 1992
[1] Antony Allat, Introduction”, dalam Chilibi Mallat dan Jane Cannors (ed), Islamic Family Law, (USA: Graham and rotman, 1990), hlm. Xi-xiii
[2] Joseph Candrad Membahasakan dengan nyata, baginya setiap jelajah daerah baru (termasuk daerah Islam) yang pernah dijajah Barat adalah, memberi sinar ruang yang gelap gulita sehingga memaksa mereka memulai dengan pola kehidupan baru dari titik terendah.
[3] Lihat lebih lanjut Khoiruddin Nasution, “Perkawinan Sirri dan Antara Agama: Fenomena Perkawinan Indonesia”, makalah pada seminar “Islam dan tantangan modernitas dalam perkawinan”, KMA PBS IAIN Sunan Kalijaga tanggal 22 November 1997.
[4] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: Academi Of Law and Regilion, 1987), hlm. 12
[5] JND. Anderson, Islamic Law In the Modern World, (London: Sweet and Maxmall Ltd, 1956), hlm. 82-83, Bandingkan dengan Tahir Mahmood, Family Law Reform In the Muslim world” (New Delhi: The Indian Law Intitute, 1972), hlm. 2-3
[6] Raja El-Nimr, “Perempuan dalam Hukum Islam”, May Yamani (ed), Feminisme dalam Islam, terj, Purwanto (Jakarta: IKAPI, 2000), HLM. 133
[7] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (Richmond: Curzoon Press Ltd, 1994) hlm. 161.
[8] Labib MZ, Pembelaan Umat Muhammad, (Surabaya: Bintang, 1986), hlm. 15
[9] Abdurrahim, Umran, Islam dan Keluarga Berencana, terj. Muh. Hasyim, (Jakarta: Lentera, 1997 ), hlm. 136
[10] Lois Laya al-Faruqi, Islamic Tradition and the Feminist Movement; “Confrontation and coorporation”, dalam Islamic Quartelly: No. 27, 1983, hlm. 136.
[11] Lbn Jarir Al-Thabari, Jmi’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikr, 1958), IV hlm. 155-157.
[12] Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, ( Beirut: dar Kitab al Islamiyah, tt), hlm. 50-54.
[13] Al-Zamakhsari, Al-Khassyaf, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966), hlm. 496-497.
[14] Lihal al-Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kiro: dan Kitab al-Arabiyah, 1997), hlm. 20, Ibnu Qoyyim, Tafsir Ibnu Qoyyim, (Beirut: Dar Fikr, 1988), hlm, 219, al-Syaukani, Fatkh Al-Qadir, (Beirut: Dar Fikr, 1973) I, hlm. 419.
[15] Lihat misalnya, Muhammad bin abdullah al Dimsiqi, Rahmat Al Ummat Fi Ihtilaf Al-‘Aimah, (Beirut: Dar Fikr, tt), hlm. 37; Taqiyyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Dimsiqi, Kifayat al- Akhyar, (Surabaya: Syirkah Nur Aisya, tt) II, hlm. 38; Ibrahim al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, (Surabaya; Maktabah: Hidayah,tt), II, hlm. 130; Muhammad Stha’ al-Dimyati, I’anat al Talibin, (Beirut: Dar Fikr, ‘993) III, hlm. 295.; Abi Zakariya al Anshari, Fath al-Wahhab Sarh Minhaj al-Thulab, (Jeddah: Al-Haramain,tt), II, hlm. 43.
[16] Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i.
[17] Bahwa kebanyakan mufassir dan ahli hukum adalah laki-laki. Wajar kiranya jika penafsiran yang dilakukan terjadi bias jender. Hal ini akan berbeda ketika penafsiran dilakukan dalam mind set perempuan. Setidaknya itulah yang tergambar dalam penafsiran yang dilakukan oleh tokoh feminisme Arab, semisal Nawal El Sa’dawi dan Fatimah Mernisi.
[18] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Habibi, 1963), IV, hlm. 181.
[19] Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (Makkah: Dar Qur’an Karim, 1992) I, hlm. 427-428.
[20] Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) , hlm. 101-102.
[21] Ibid, hlm. 102-104.
[22] Rasyid Ridla, Tafsir al- Manar, 1374, IV, hlm. 348-349.
[23] Fazlur Rahman, “A Survey of Modernization of Muslim Family Law”, dalam International Journal of Middle East Studies, II, 1980, hlm. 451-452.
[24] JND. Anderson, “Modern Trend in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, dan International and Comparative Law Quertely, No. 2 1971, hlm. 12.
[25] Tahir Mahmood, Family Law......, hlm. 11-12.

Tidak ada komentar: