09 Februari 2009

ISLAM DIANTARA DUA TITIAN


ISLAM DIANTARA DUA TITIAN
Oleh: Asyari Hasan

Saya adalah seorang fundamentalis
Tapi saya tidak fanatik”
HASSAN HANAFI
.

Setelah kran demokrasi 1998 dingaungkan oleh ”reformasi” pada bumi yang kata Soekarno merupakan negeri ”loh jinawi toto tentram kerto raharjo” ini Islam sebagai agama terbesar pun bak katak diantara tetesan hujan, bersukacita penuh bahagia, hal ini ditandai dengan menjamurnya sekte-sekte Islam dengan pola organisasi, ciri khas, dan paham yang berbeda serta simbol keagamaan dan bendera ”ketuhanan” yang beraneka. Kesemuanya menjadikan aliran dan paham mereka sebagai ”tiket” gratis menuju sorga. Sama–sama menjadikan Allah sebagai sembahan dan Muhammad sebagai rasul, namun perbedaan tetap saja di garda depan. Mereka berpacu menampilkan arogansi perbedaan dengan ciri khas dan warna yang berbeda, sebagian memproklamirkan diri sebagai pembela Islam dan menerapkan sistem arabisme, menjadikan jubah sebagai uniform baju kebesaran organisasi, doktrin jenggot sebagai sunah rasul, jidat harus dihitamkan, wanita harus bertopeng minimal jilbaber, Allahu akbar, dijadikan sebagai mars motivasi spontanitas. Disamping itu muncul kelompok berseberangan dengan bendera liberalisme dan pluralisme dengan ciri khas jilbab dada buka (jildabuk), kaum anti jilbab(ktb) dengan alasan gender dan emansipasi serta ragam lainnya, yang pada dasarnya lebih mengedepankan fanatisme berlebihan.
Keberagaman tersebut tidak jarang menumbuhkan benih-benih permusuhan, hujat-menghujat, dan saling cemeeh antara sesama, yang bermuara pada perpecahan Islam. Terbukti tahun 2005 salah satu kelompok yang menamakan diri jemaah Ahmadiyah karena terlalu exclusive dianggap mengembangkan aliran sesat dan menyalahi statute ketuhanan oleh kelompok Islam lainnya yang mengaku paling benar dan akhirnya ahmadiyah dibredel dan dihancurkan, tak lama kemudian kelompok jemaah Islam liberal (jil) dengan konsep liberalismenya, mereka dikutuk habis-habisan oleh sekte Islam sebagai aliran yang radikal karena telah mencampur adukkan ideology Islam dengan ideology bara, bahkan ada kelompok sekte Islam tertentu yang menfatwakan para pengikut jil halal darahnya. Ormas Islam yang dianggap lebih moderat dan pengikutnya mayoritas di Indonesia NU VS Muhammadiyah selalu berada diliang konflik dalam menetapkan awal-akhir ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang berimplikasi pada kondisi sebagian melaksanakan ibadah puasa sedang muslim lainnya berjalan sambil merokok sambil ngemil. Parahnya lagi ada oknum Islam tertentu yang “atas nama tuhan” menghalalkan darah manusia bahkan muslim lainnya, bom-bom penghancur diciptakan untuk menjadikan tempat-tempat ibadah sebagai tempat pesta darah dan daging manusia. Dengan tanpa penyesalan sedikitpun pembunuhan-pembunuhan tersebut dilakukan dengan dalih jihad fisabililah. Inikah Islam..? Padahal Al-quran mengajarkan ”masuklah kamu kedalam Islam dengan cara kaffah” (al-baqarah 208)” dan kami tidak mengutusmu hai Muhammad kecuali rahmat bagi alam semesta “(al-anbiya), (dan kami jadikan manusia berbangsa dan suku-suku untuk saling memahami…)(al-hujurat 13). Nabi juga mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahma. Kenapa harus saling mengedepankan perbedaan yang akhirnya bermuara pada pertikaian, permusuhan dan cemeehan…??
Pernah para ahli psikologi berdebat tentang apa yang mereka sebut the great paradoxes of the psychology of religion, mereka tidak mengerti mengapa agama yang mengajarkan persaudaraan di antara sesama manusia melahirkan manusia dengan tingkat prasangka yang tinggi. Agama yang sakral dan dianggap sebagai “rahmat" serta "penyelamat" manusia ternyata karena agama memunculkan sekte-sekte dan perbedaan ideologi, semakin memperuncing pertiakaian. Tak pelak di balik janji “peace” agama ada “violence”. Tragis jika setiap orang berani dan tanpa malu mengaku-ngaku sebagai wakil tuhan walaupun abstrak, bukankah klaim ”atas nama tuhan” sesungguhnya ditunggangi ”kepentingan dan tendensi”. Sekilas apa yang dikatakan Gus Dur bahwa "tuhan tidak perlu di bela" barangkali ada benarnya jika di sikapi obyektif, sebab terlalu banyak yang di korbankan karena tuhan. Karena tuhan tidak membutuhkan pertolongan dan pembelaan dari manusia, ia maha kuasa (al-Qowy), maha besar (al-Kabir), kaya(al-Ghaniy). Tuhan juga tak perlu di benar-benarkan karena dia memiliki kebenaran absolut, dengan pembenaran terhadap tuhan maka tidak jarang manusia memonopoli kebenaran, dengan sikap nyeleneh dan cenderung menapikan kebersamaan.
Dalam penelitiannya Adorno, dkk, (1950) pernah melakukan penelitian klasik tentang prejudice dimana beliau mengidentifikasi karakteristik prejudice manusia yaitu: Otoriter, panatisme kesukuan dan golongan, konservatisme politik dan ekonomi, dan anti-semitisme, sehingga sangat mengherankan kenapa orang yang berkecimpung dalam dunia keberagamaan atau sebut saja orang saleh lebih sering menampakkan prejudice dari pada orang yang tidak saleh. Allport berusaha menjawab paradoks ini dengan membagi 2 macam keberagamaan, yaitu: tidak dewasa (ekstrinsik) dan dewasa (intrinsik). Keberagamaan yang tidak dewasa merupakan agamanya anak-anak yang memandang bahwa Tuhan sebagai “bapak” mereka yang bertugas melayani kehendak dan kebutuhannya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya, keberagamaan seperti ini sangat cocok untuk anak-anak tetapi menjadi disfungsional jika di lakukan oleh orang dewasa. Keberagamaan yang “tidak dewasa” bersifat menghakimi dan selalu menilai orang lain untuk mencari kesalahannya (fideis subyektivisme al-aqlu al-Lahiti). Orang yang menjalankan praktik beragama untuk memenuhi kebutuhannya pada dasarnya adalah lebih menginginkan status, kenyamanan pribadi dan pembenaran diri(apologetic) yang tidak dewasa dalam beragama juga tendesius (misionerik tradisional) dalam membuat sesuatu,pekerjaan yang dilakukan jarang sekali dilakukan berdasarka kebersamaan dan kesucian hati,ia selalu mengharapkan imbalan dibalik pekerjaan yang ia lakukan dan terkesan memaksakan kehendak orang lain.
Sedangkan buat orang beragama berdasarkan”kedewasaan”(intrinsic)motif keagamaan diletakkan diatas motif pribadi dan kelompok,ia lebih memahami sesuatu dgn obyektif,verstehen,universal dan lebih mencari jalan tengah yg terbaik demi kemaslahatan bersama.ia tidak mudah menyalahkan sesuatu yg berbeda, ia cendrung bersikap demokrat dan memahami perbedaan sbg warna-warni kehidupan.
Back ground disiplin ilmu dan pengguanaan metode interpretasi dalam memahami teks(al-quran dan hadist) adalah pemicu munculnya disintegrasi ideology dalam paradigma dan aplikasi sehingga dpt mengarah pd pembangunan ta’assufisme(fanatic)yg berlebihan dan radikalisme antara kelompok Islam.sebut saja,ada dua kekuatan besar yg menhantui Islam kini,pertama adalh pemahaman keagamaan formalistic-tekstual,yg lebih mengedepankan pemahaman secara formal teks al-quran dan hadis,mereka hampir tdk dapat mengambil yg tersirat mereka hanya mengambil yg tersurat,terakhir disebut sbg kelompok fundamentalis Islam.layaknya kelompok khawarij masa awal Islam yg menganggap la hukma illa lillah (tdk hukum kecuali milik allah) shg mereka sgt mudah dalam mengkafirkan manusia termasuk orang Islam sendiri yg tdk memutuskan sesuatu dgn al-quran.kedua adalah kelompok Islam subtantif-kontekstual,dimana mereka menganggap perlu diadakan kajian ulang thd teks-teks keberagaman dan dikontekstualisasikan dg fenomena saat sekarang dg menggunakan berbagai metode baru disiplin ilmu.sebab teks bukanlah berhala yg harus dikultuskan abadi,makna tersiratnya harus dire-interpretasi kemali dan disesuaikan dg konteks kekinian,karena banyak hal zaman sekarang yg perlu dilakukan ijtihad baru karena tidak ada pada masa nabi.hal inilah yg memunculkan intelektual-intelektual muslim brilian yg ingin menggagas kembali pemahaman thd teks-teks dan menghubungkan dg konteks kekinian.hal ini dpt dilihat dari ekspresi para intelektual Islam kontemporer,seperti fazlurrahman,arkoun,hasan hanafi,m.syahrur,nasr hamid abu zaid,abi harb an-naim.
Fazlurrahman mengatakan tdk lagi cukup memadai utk menggunakan teori fiqh dan ushul fiqh ttg membahas qat’iyyat dan zhanni.ia menawarkan ideal moral dan legal spesifik sbg pembagian awal tradisi Islam.arkoun,menawarkan pemahaman ulang ttg tradisi Islam dgn membedakan secara tegas antara turasdengan turats.dia mempertanyakan semakin kaburnya dimensi kesejarahan dalam ilmu fiqh.ia juga mempertanyakan pengkultusan thd teori klasik fiqh yg telah disusun beberapa abad yg lalu namun sampai sekarang masih terus diajarkan.sementara problematika dan tantangan sekarang sangat berbeda dg masa lalu. Hasan hanafi menganggap perlunya sikap kritis thd tradisi kini dg tradisi lampau.ia mengatakan bahwa manusia tdk bisa lepas dari tiga akar pijakan berpikir:kemarin(al-madhi),yg dipersonifikasikan dg turast qadim(budaya klasik),esok(al-mustaqbal)atau atturast al-gorbi(khazanah barat),sekarang (al-hali)yg dipersonifikasikan sbg al-waqi’(realitas kontemporer).demikian juga dg m.syahrur yg menawarkan teori bacaan kontemporer,(qira’ah mu’ashirah),Abu zaid dg reinterpretasi teks suci,Ali harb dg teori dari kritik akal ke kritik teks,dan Abdullah ahmed an-naimdg teori naskah-mansukh yg berbeda dg pemahaman umat Islam selama ini.
Sedangkan menurut al-jabiri ada tiga aliran pemikiran Islam yg menonjol dalam perkembangan keilmuan Islam:pertama pemikiran filsafat yg jelas menekankan pada penggunaan akal dan rasio dg bukti yg nyata atau bisa disebut paradigma burhani karena lebih mengedepankan rasio dan empiris.kedua pemikiran kalam tauhid yg lebih mengedepankan pada teks-teks naqliyah dg sedikit bumbu aqliyah,pemikiran ini disebut dg paradigma bayani pada peranan penjelasan otoritas nash dan teks suci.ketiga pemikiran taswuffi yg lebih menekankan pada penggunaan rasa,dg bukti-bukti yg sulit dipertanggung jawabkan secara empiris,dan ini dapat disamakan dg paradigma irfani karena banyak menekankan pada peranan intuisi,qalb,dhamir,dan zauq. Islam anda seperti apa? Sudah dewasa atau masih kanak-kanak?? Saya,anda,kita ada dimana?? Atau tidak ada sama sekali????

Tidak ada komentar: