09 Februari 2009

MONOPOLI DAN IHTIKAR DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM

MONOPOLI DAN AL-IHTIKAR
DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM
Abstrack
Monopoli sebagai anak keturunan dari ekonomi kapitalis dengan pandangan hidup liberalnya, banyak ditentang oleh masyarakat . Sebab monopoli ternyata membawa dampak negatif bagi kompetisi pasar yang sehat. Pada pasar monopolis produsen-produsen lain tidak akan dapat bertahan., bahkan yang lebih buruk produktifitas dengan sengaja diturunkan demi tujuan politis, yaitu mengatur harga agar maksimal. Maka dengan sendirinya akan terjadi kelangkaan akan barang (scarcity) dan dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat (konsumen). Islam dengan sistem ekonominya mencoba untuk mementahkan ideologi monopolistik dengan memunculkan berbagai konsep baru yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis. Pertanyaannya apakah monopoli dalam mu’amalat Islam sudah terkonsep? Benarkah monopoli dan al-ihtikar sama?

Kata kunci: al-ihtikar, Monopolistiy’s rent, oligopoli, normal profit, price maker, natural monopoli, scarcity

A. Pendahuluan
Dalam mempertahankan hidup manusia diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar manusia dalam mengatur dirinya untuk memenuhi kebutuhan yang ada, selama tidak berbenturan dengan kepentingan orang lain. Sebab jika manusia melanggar batas kebutuhan antara sesamanya maka akan terjadi konflik. (Heri Sudarsono, 2000: 1)
Pun dalam aturan-aturan syari’at Islam menuntut dan mengarahkan kaum muslimin untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang dibolehkan dan dilarang oleh Allah SWT. Demikian pula dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, nilai-nilai Islam senantiasa menjadi landasan utamanya. Siapa saja yang ingin bermuamalah dibolehkan kecuali yang dilarang. Hal ini memberikan ruang dan gerak yang luas bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup. (Imam Subhan, 2003: 29)
Meskipun Islam memberikan kesempatan yang luas bagi kaum muslimin untuk menjalankan aktivitas ekonominya, namum Islam menekankan adanya sikap jujur, yang dengan kejujuran itu diharapkan dapat dijalankannya sistem ekonomi yang baik. Sebab Islam sangat menentang adanya sikap kecurangan, penipuan, praktek pemerasan, pemaksaan dan semua bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain. )Huzaimah T Yanggo, 1997: 92)
Apalagi, saat ini kehidupan manusia semakin lama dihadapkan kepada situasi yang sulit, dimana munculnya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang semakin terbatas. Di sisi lain hasrat dan kebutuhan manusia untuk mencari kepuasaan pribadinya semakin banyak dan kompleks seiring dengan perkembangan jaman. (Sri Adiningsih, 1999:1). Dengan situasi ini pihak yang lemah hanya mampu untuk mempertahankan hidupnya agar tetap survive. Sangat berat bagi mereka untuk meningkatkan income dan taraf hidup. Sementara di sisi lain pihak yang memiliki peran ekonomi kuat dengan pola perilaku aneh dan ekstrim yang tidak pernah diikuti dengan nilai-nilai ketuhanan tidak merasa puas menambah dan menumpuk harta dan kekayaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Ini disebabkan karena orientasi ekonominya sudah melenceng dimana ekonomi yang dipahami sebagai jawaban untuk memenuhi keberlangsungan hidup ternyata banyak diinterpretasikan sebagai pencarian untung semata (profit motif) dan penimbunan harta sebanyak-banyaknya serta extravaganza dalam mempergunakan otoritas ekonomi sehingga memunculkan sistem yang tidak seimbang.
Maka di sinilah kejujuran dan keadilan perlu dijaga, sebab acapkali situasi ini menimbulkan ketidakadilan dimana para penumpuk harta tidak lagi mempertimbangkan norma-norma dan kemanusiaan, mereka hanya mengikuti hawa nafsu yang tamak dan merusak bumi. Dalam ekonomi seringkali pola tersebut muncul, terutama dengan sistem ekonomi liberal kapitalis yang dapat menghalalkan segala cara demi merengkuh keuntungan dunia semata. Mereka tidak mengenal siapa kawan, egosentrisme menjadi prinsip “Elu…lu…, gue…gue.." menjadi ucapan manis yang saban hari keluar dari mulutnya. Salah satu dari contoh tersebut dalam dunia bisnis adalah "monopoli" yang berciri monopolistic rent atau dalam istilah Islamnya disinyalir merupakan persamaan al-Ihtikar.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menganalisa ulang tentang keberadaan al-Ihtikar yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam dan menjembatani "perbedaan tipisnya" dengan monopoli dalam ekonomi perspektif Islam, serta akibat yang akan dimunculkan oleh monopoli dan al-Ihtikar tersebut.
B. Monopoli dan Al-Ihtikar
Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir “hampir mirip” dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-barang) atau tempat untuk menimbun. (W.J.S Poerwadarminta, 1994: 307) Dalam kajian fikih al-Ihtikar bermakna menimbun atau menahan agar terjual. (Ahmad Warson Munawir, 1994:307). Adapun al-Ihtikar secara terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya. (Yusuf Qasim, 1986:75). Para ulama berbeda pendapat dalam memahami obyek yang ditimbun yaitu: kelompok pertama mendefinisikan al-Ihtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada bahan makanan pokok (primer) dan kelompok yang kedua mendefinisikan al-Ihtikar secara umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan manusia baik primer mapun sekunder.
Kelompok ulama yang mendefenisikan al-Ihtikar terbatas pada makanan pokok antara lain adalah Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafi’i) dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah ihtikar adalah menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash.
Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas dan umum diantaranya adalah imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi). Beliau menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ‘ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar sebagai membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut. (As-Sayyid Sabiq, 1981: 162).
Fathi ad-Duraini mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Al-Ihtikar menurut ad-Duraini, tidak hanya menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari pembeli jasa dengan syarat, “embargo” yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain. Misalnya, pedagang gula pasir di awal Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya, karena mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula di pasar, harga gula pasti akan naik. Ketika itulah para pedagang gula menjual gulanya, sehingga pedagang tersebut mendapat keuntungan (profit) yang berlipat ganda. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent. (Adiwarman Karim, 2000:154)
Sedangkan yang dimaksud dengan monopoli dalam istilah ekonomi adalah hak menguasai secara tunggal perdagangan dimana pihak lain tidak boleh ikut campur, sehingga monopolis (pemegang hak monopoli) dapat melakukan produksi dan penawaran harga sekehendaknya. (Dahlan al-Barry, 1994: 482) Monopoli juga merupakan suatu bentuk pasar dimana hanya ada satu firma saja dan firma tersebut menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat. (Sadono Sakirno, 2001: 261) Pemegang hak monopoli memiliki hak untuk memproduksi barang-barang usahanya sesuai dengan kehendaknya, sehingga di saat tertentu bisa saja stok yang ada dalam perusahaan ditahan dan tidak dipasarkan dengan maksud untuk menaikkan harga dan meningkatnya permintaan dari konsumen, sehingga akan meningkatkan kelangkaan suatu barang.
Ada tiga macam bentuk monopoli yang terjadi dalam pasar, yaitu:
Natural Monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara alamiah atau karena mekanisme pasar murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang secara alamiah menguasai produksi dan distribusi produk tertentu.
Monopoly by Struggle, yaitu monopoli yang terjadi setelah adanya proses kompetisi yang cukup panjang dan ketat. Persaingan berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan pasar terbuka. Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah melakukan kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan hambatan
Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi karena adanya campur tangan pemerintah yang melakukan regulasi dengan memberikan hak istimewa kepada pelaku ekonoi tertentu untuk menguasai pasar suatu produk tertentu. (Iswardono SP, 1990:104)
Berbeda dengan oligopoli, perusahaan oligopoli tidak dapat begitu saja menaikkan harga karena jika hal ini dilakukan maka pembeli tidak akan membeli barang yang akan dijualnya, juga tidak diperkenankan menurunkan harga karena perusahaan lain akan turut menurunkan harga yang sama dan tidak akan ada satu perusahaan yang memperoleh keuntungan maksimum akan harga barang tersebut melebihi keuntungan perusahaan yang lain. Dalam sistem ini terjadi persaingan pasar yang sehat dan kompetitif. Firma-firma yang ada memproduksi jenis barang yang sama dan bersaing untuk mendapatkan simpati konsumen, sehingga diharapkan terjadi stabilitas ekonomi pasar dan lebih mengutamakan pelayanan yang prima.
Dari terminologi di atas dapat dipahami bahwa al-Ihtikar dalam dataran konseptual berbeda dengan monopoli, namun jika dilihat dari dataran faktualnya memiliki banyak persamaan, sedangkan perbedaannya adalah sangat tipis sekali.
Adapun persamaannya adalah:
Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak (motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga (price maker)
Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan barang-barang ke pasaran atau tidak
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan ketidakpuasan pada masyarakat.
Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk mengeksploitasi (Zulm) golongan miskin.
Sedangkan diantara perbedaan monopoli dan ihtikar adalah:
1. Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal alakadarnya pun bisa melakukannya
2. Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3. Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4. Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.
C. Dasar Hukum
Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan Allah untuk memilikinya, maka halal pula dijadikan sebagai obyek perdangan. Demikian pula segala bentuk yang diharamkan untuk memilikinya maka haram pula memperdagangkannya. Namun terdapat ketentuan hukum Islam bahwa barang itu pada dasarnya halal, akan tetapi karena sikap serta perbuatan para pelakunya yang bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram. Dalam al-Qur’an secara langsung tidak ada disebutkan mengenai al-Ihtikar (Monopolistic rent). Tetapi ada ayat yang menyebutkan mengenai penimbunan emas dan perak, yaitu:
والذين يكنزون الذ هب والفضة ولاينفقو نها فى سبيل الله فبشر هم بعذاب ﺍﻟﻳﻢ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang sangat pedih” QS (9): 34.

Walaupun tidak ditemukan secara jelas dalam al-Qur’an tentang al-Ihtikar (Monopoli) tetapi ia mempunyai hubungan dengan riba. Dalam riba terdapat unsur zulmun (menganiaya) orang lain diakibatkan karena ketidakmampuan peminjam untuk membayarkan utangnya tepat waktu maka secara otomatis harga menjadi naik melebihi pokok pinjamannya dan hal ini memberatkan yang mengakibatkan sipeminjam teraniaya dan secara terpaksa harus membayarkan tambahan modal tersebut. Sementara ihtikar walaupun secara implisit, juga menagandung zulmun (menzhalimi) dan masyarakat akan merasakan akibat fatalnya. Sebab al-Ihtikar bertujuan untuk mencari keuntungan yang lebih banyak, dengan menimbun barang yang beredar di pasaran dapat mengakibatkan kelangkaan dan tentunya akan terjadi kenaikan harga secara otomatis di atas normal. Sehingga masyarakat yang biasanya tidak kekurangan barang dan dapat membelinya sesuai kehendaknya tanpa merasakan kesulitan, namun karena akibat ihtikar tersebut mereka jadi kekurangan barang dan sulit untuk menjangkau harga agar dapat memnuhi kebutuhan mereka, namun karena sudah terdesak akan kebutuhan pokok dan hidup sehari-hari barang yang langka tersebut akhirnya dibeli juga walaupn terpaksa. Pada kasus ini terdapat unsur menganiaya dan memaksa bagi si pelaku Ihtikar dan teraniaya serta keterpaksaan bagi masyarakat walaupun ia tidak berlaku secara eksplisit. Firman Allah:
……… ﻻﺗﻆﻟﻣﻮﻦﻮﻻﺘﻆﻟﻣﻮﻦ …….
“….kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya….” QS (1):278
واحل الله البيع وحرم الربا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba” QS (2):275”
Dalam beberapa hadis Nabi juga menyinggung mengenai al-Ihtikar di antaranya:
لايحتكر الاخاطىﺀ.
“Tidaklah seorang penimbun kecuali ia orang yang berdosa”, At-Turmudzi 307: 1980
Larangan dalam hadis tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan, menjauhi dan menghindari. Sementara cercaan atau predikat bagi orang yang melakukan penimbunan dengan sebutan khati’ berarti orang yang berdosa dan berbuat maksiat merupakan suatu indikasi yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut bermakna tegas (keras). Orang yang berbuat maksiat dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran syara’ dan mengingkari ajaran syara’ merupakan perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian perbuatan al-Ihtikar termasuk perbuatan yang diharamkan.
Namun larangan yang sangat tegas tentang penimbunan barang berdasarkan hadis:
الجالب مرزوق المحتكر ملعون.
Seorang saudagar (importer) akan diberi rezki dan seorang penimbun (monopolis) akan dilaknat” (Ibnu Majah 768: 978)
Adapun hadis berikut menjelaskan mengenai penimbunan terhadap bahan makanan:
من احتكر على المسلمين طعاماضرب الله بالجلد ام والافلاس.
“Barang siapa yang menimbun bahan makanan terhadap orang-orang muslim, maka Allah akan menjadikan dia dalam kebangkrutan” (Ibnu Majah 768: 978)

Sedangkan hadis lain yang menjelaskan tentang perdagangan dengan menaikkan harga dari suatu bahan pokok untuk memonopolisasi harga dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya:
من دخل في شئ من اسعار المسلمين ليغليه عليهم كان حقا على الله ان يقعده بعظم من النار يوم القيا مة.
“Barang siapa yang menaikkan harga suatu bahan pokok kaum Muslimin agar ia lebih kaya daripada mereka maka Allah berhak untuk menempatkannya di neraka jahannam pada hari qiamat” (Abu Dawud)
D. Kriteria al-Ihtikar dalam Islam
Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan para pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.(Ali Abd ar-Rasul, 1980: 1980, dan As-Sayyid Sabiq, 1981: 100)
Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat disimpulkan, bahwa penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pembelian barang. Akan tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil pembeliannya juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena langkanya industri seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jiak memiliki keriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.
2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda. .(Yusuf al-Qardawi, 2000: 358)
E- Monopoli dan al-Ihtikar : Sebuah Refleksi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi langka dipasaran dan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga warga setempat sulit untuk menjangkaunya. Hal ini bisa dipahami bahwa apabila tersedia sedikit barang maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang ditimbun itu merupakan kebutuhan primer manusia seperti bahan makanan pokok (semisal sembako).
Al-Ihtikar yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar (sebagaimana disebutkan) mempunyai kesamaan dengan praktek monopoli. Yang mana monopoli biasanya mengacu pada penguasaan terhadap penawaran harga. Suatu monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lainnya. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan orang lain. (Nejatullah as-Siddieqy, 1991:45) Sehingga dengan motif ingin memaksimumkan keuntungan, maka perusahaan monopoli akan dengan mudah menetapkan harga barang sesuai dengan keinginannya. Oleh karena pada umumnya, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif, dan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetitif. (Abdul Manan, 1997:151).
Al-Ihtikar begitu juga sebagian monopoli yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar sengaja mengupayakan agar barang yang ditimbun menjadi langka di pasar. Dengan demikian masyarakat akan kesulitan menemukan barang tersebut di pasar dan kalaupun ada namun harga yang ditawarkan sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Sehingga dalam keadaan seperti ini konsumen berusaha mencari barang pengganti yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan pendapatannya, dengan mengganti barang-barang yang kurang berguna dengan barang-barang hanya memerlukan pengeluaran kecil. Para konsumen juga tidak mampu mengurangi kuantitas yang dibeli dengan segera setelah harga suatu barang naik. Pada mulanya mereka tidak akan sadar akan adanya barang-barang pengganti yang potensial. Namun demikian, selang berapa waktu konsumen akan menyimak beberapa barang pengganti yang muncul di pasar.
Suatu pasar dapat dikatakan monopoli apabila: Pertama, hanya terdapat satu produsen dalam industri, kedua, produknya tidak ada barang pengganti, ketiga, ada hambatan untuk masuknya produsen baru, (Abdul Manan, 1997: 151) dapat menguasai penentuan harga, dan promosi iklan tidak terlalu diperlukan. (Sadono Sakirno, 2001: 262) Dalam kenyataan struktur pasar monopoli yang memenuhi kriteria di atas sulit dijumpai. Banyak produsen mempunyai saingan dalam bentuk barang pengganti yang dihasilkan oleh produsen lain. Misalnya, perusahaan kereta api di Indonesia, kelihatannya monopoli negara. Namun jika dikaitkan dengan ciri monopoli yang kedua, (tidak ada barang pengganti) maka perusahaan tidak murni merupakan monopoli.
Lebih khusus Hendre Anto menguraikan bahwa sebenarnya monopoli tidak selalu merupakan suatu keadaan pasar yang buruk bagi perekonomian, bahkan beberapa jenis usaha memang lebih baik jika diupayakan secara monopoli seperti dalam natural monopoly. Adanya natural monopoly yang sebenarnya justru menguntungkan konsumen, sebab konsumen akan mendapatkan barang dengan harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan dalam pasar bersaing. Tetapi, salah satu keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan harga pada tingkat yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan laba, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan masyarakat. (Hendri Anto, 2002 : 310)
Islam melarang praktek yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada orang lain. Begitu juga dengan menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat dikecam dalam Islam karena biasanya apabila harga barang-barang kebutuhan pokok naik maka akan berpengaruh frontal terhadap harga-harga barang lainnya, sehingga harga barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Di dalam teori ekonomi kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya perlu mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui al-Ihtikar dan monopoli yang semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim hendaknya bukan hanya berpatok atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi. Tapi lebih pada apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang di perintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangannya.
Apabila seseorang telah melakukan penimbunan barang atau memonopoli komoditi dengan semena-mena, maka orang yang bersangkutan pada hakekatnya telah menarik barang dari pasar sehingga persediaan barang di pasar menjadi berkurang dan langka. Perbuatan semacam ini menunjukkan adanya motivasi mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan bencana dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, asalkan dengan cara itu dapat mengeruk untung yang sebanyak-banyaknya. Kemudharatan ini akan bertambah berat jika si pengusaha itulah satu-satunya orang yang menjual barang tersebut atau terjadi kesepakatan dari sebagian pengusaha yang memproduksi maupun menjual barang tersebut untuk mengurangi atau menimbunnya, sehingga kebutuhan masyarakat akan barang tersebut semakin meningkat sehingga harga pun dinaikkan setinggi-tingginya. Bagaimanapun juga dalam hal bahan pokok masyarakat (konsumen) yang sangat membutuhkan akan tetap membelinya meskipun dengan harga yang tinggi dan tidak layak.
Dalam pandangan Islam harga harus mencerminkan keadilan (price equvalence), baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi pasar yang bersaing sempurna harga yang adil ini dapat dicapai dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada intervensi dari pemerintah. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab ia akan mencari monopolist rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar (penimbunan) yang mempunyai tujuan mencari monopolist rent. Untuk itu pemerintah perlu bahkan wajib melakukan intervensi sehingga harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dan Islam sangat menjunjung tinggi keadilan.
Pada dasarnya Islam menerima perdagangan bebas. Dalam arti bermuamalah ada kebebasan untuk melakukan aktivitas (freedom to act). Setiap individu dapat melakukan aktivitas ekonominya dengan bebas, kebebasan dalam perspektif ekonomi Islam tentu saja kebebasan yang tidak melanggar kaidah-kaidah yang telah diatur dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas para ulama. Karena diharapkan instrumen-instrumen yang dijalankan dengan sitem ekonomi Islam mampu menciptakan simetrisitas antara kesejahteraan individu dengan kesejahteraan masyarakat.
Menurut penulis pada dasarnya Islam tidak melarang monopoli secara mutlak apalagi yang melakukan monopoli adalah negara, namun pandangan Islam berhati-hati terhadap mekanisme penentuan harga didalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi konsumen. Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Artinya bahwa monopoli jika di asumsikan sebagai al-Ihtikar dengan pengertian pelangkaan barang terhadap barang produksi kebutuhan utama masyarakat dengan menaikkan harta ketika permintaan meningkat maka hal ini adalah di haramkan (monopolistic rent). Dengan ungkapan yang sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan apakah suatu perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan di atas normal. namun Islam secara jelas melarang Ihtikar (penimbunan) yaitu mengambil keuntungan di atas normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, atau dalam Istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent-seeking.
Dalam perdagangan Islam harga harus mencerminkan keadilan, baik dari posisi produsen maupun konsumen. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri tanpa ada kontrol masyarakat dan lembaga pemerintahan, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab sangat terbuka peluang untuk melakukan monopolistic rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar dan bahkan menyamakannya dengan monopoli, sebab ihtikar merupakan perbuatan monopolistic rent. Sehingga dapat diasumsikan bahwa praktek monopoli kurang mendapat simpati dalam Islam karena hal ini sangat rentan mempermainkan harga barang sehingga dapat merugikan konsumen.


F- Penutup
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi komparatif tentang keberadaan Monopoli dalam sistem ekonomi kapitalis yang disinyalir hanya "beda tipis" dengan terminologi Ihtikar dalam konsep muamalah Islam walaupun pada dasarnya keduanya memiliki perbedaan dan akibat hukum yang berbeda dimana Islam melarang keras ihtikar dan monopoli sah-sah saja asalkan tetap mengutamakan norma dan etika. Namun ini bukanlah harga mati yang mutlak menjadi suatu kebenaran. Ekonomi Islam yang masih "seumur jagung" tetap mencari konsep-konsep baru dalam menghadapi berbagai tantangan sistem dan prilaku ekonomi yang setiap saaat berubah

























Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri, Ekonomi Mikro, Yogyakarta, BPEF, 1999
al-Barry, M Dahlan Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, 1994
al-Qardawi, Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000
ar-Rasul, Ali, abd, Dr., Al-Mabadi’ al-Iqtisodioyyah fi al-Islam wa al-Bana’ al-Iqtisodiyyah li ad-Daulah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 1980
as-Siddieqy, Nejatullah, Aspek-Aspek Ekonomi Islam, (Terj), Solo: CV Ramadhani, 1991
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, “Kitab al-Buyu’”, Kairo: Mustafa al-Babi, 1980
Dahlan, Abdul, Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1996
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomiu Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2000
Iswardono, SP, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990
Karim,Adiwarman Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: IIIT Indonesia, 2000
Majah, Ibnu, Sunan Ibni Majah, “Kitab at-Tijarah”, Semarang : Toha Putra, tt
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Terj), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1997
Munawwir,Ahmad, Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Pondok Pesantren “al-Munawwir”, 1994
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1976
Qasim,Yusuf, At-Ta’mil at-Tijariyyi fi Mijan asy-Syari’ah, Kairo: Dar an-Nahdhoh al-‘Arabiyyah, 1986
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Libanon: Dar al-Fikr, 1981
Sakirno, Sadono, Prengantar Teori Mikro Ekonomi, Jakrta: PT. Radja Grafindo, 2001
Subhan, Imam (ed), Siasat Gerakan Kota dan Jalan Untuk Masyrakat Baru, Yogyakarta: Labda, 2003
Yanggo, Khuzaimah, Tahido, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997



Tidak ada komentar: