09 Februari 2009

CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN ISLAM

CACAT KEHENDAK DALAM HUKUM PERJANJIAN ISLAM
(Wilgebrek Atau عيوب الرضا)
Oleh: Asy’ari Hasan, M. Ag.


Suatu akad yang yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait sah sepanjang didasarkan pada kehendak bersama yang berasaskan kesepakatan dan keinginan bebas oleh kedua belah pihak, sebaliknya ada beberapa hal yang mengakibatkan kehendak seseorang cacat oleh karena keadaan teretentu yang secara hukum mengakibatkan suatu akad ataupun ikatan itu batal atau dapat dibatalkan.


Kata Kunci: toesteming, Wujudu at-Trady, sihhatu at-tarady, bedrog, awalig,
dwaag, Undue Influence, al-ghalad/al-khotok, at-tadlis at-takrir, al-
ikrahi

A. MUQADDIMAH
Tindakan hukum adalah suatu kehendak yang murni untuk melahirkan suatu akibat hukum tertentu yang diakui keabsahannya oleh hukum. (Syamsul Anwar, hlm. 58) Dan akad adalah kehendak murni semacam itu Menurut Az-Zarqa kehendak atau keinginan dibagi ke dalam dua bagian: pertama yaitu الارادة الحقيقية yaitu keinginan hati yang tidak nampak, kedua: اﻻرادة الظا هرة atau kehendak seseorang yang nampak dan merupakan ungkapan dari kehendak hakiki seperti serah terima. (Mustafa Ahmad Az-Zarqa, hlm. 263). Oleh karena itu suatu akad atau Perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak yaitu masing-masing para pihak ridha/rela akan isi perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak dan tentunya harus ada pilihan.(Al-Jassas: 294)
Sebagaimana disebutkan dalam BW pasal 1320 secara umum agar suatu transaksi dapat terjadi maka hendaklah para pihak-pihak yang terkait memiliki adanya kehendak, persetujuan, dan perundingan atau kesepakatan. (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, hlm. 21) Dua pihak atau lebih berkehendak untuk mengikatkan diri, dan kehendak itu sudah barang tentu diberitahukan kepihak lainnya. Maka pihak-pihak akan diminta persetujuannya (toesteming) untuk menanggapi tawaran suatu kehendak. Persetujuan atau keadaan ridha (Wujudu at-Trady) haruslah merupakan sesuatu yang nyata dan sah (sihhatu at-tarady) tanpa dipengaruhi unsur-unsur maupun efek-efek lain yang mengakibatkan kerelaan seseorang tidak sempurna. Barulah kemudian setelah adanya persetujuan dilakukan perundingan untuk membahas hal-hal yang lain yang berkaitan dengan kehendak yang telah disepakati bersama. Hal ini sebagimana di sebutkan dalam kaedah fikih:
ﺍﻷﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻠﻌﻗﺩ ﺮﺿﺎﺍﻠﻣﺘﻌﺎﻗﺩﻴﻥ ﻭﻧﺘﻴﺟﺗﻪ ﻣﺎﺍﻠﺘﺰﻣﺎﻩ ﺒﺎ ﻠﺗﻌﺎﻗﺩ
Pada dasarnya perjanjian itu adalah kesepakan kedua belah pihak dan akibat hukmnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. (Asjmuni A. Rahman, hlm. 28)

Maka suatu akad baik dalam hukum Islam maupun perdata tidak akan sah jika dnegan kehendak seseorang tidak sempurna dikarenakan adanya hal-hal yang memaksa atau menuntut dia untuk melakukan suatu akad maupun perjanjian. Suatu kehendak yang murni adalah kehendak yang dinyatakan secara bebas dan dalam suasana yang wajar dengan tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menyesatkan dan membuat kehendak menjadi tidak sempurna ini mengandung suatu cacat dan oleh ahli-ahli hukum menyebutnya dengan istilah cacat perizinan (vices du consentement/عيوب الرضا) serta dalam bahasa Belanda ditetapkan sebagai Wilsgebrek. (Abd. Ar-Rizqi Ahmad As-Sanhury. hlm. 286).
Menurut Az-Zuhaily yang dimaksud dengan cacat kehendak atau عيوب الرضا. Adalah perbuatan yang dilakukan dengan kehendak yang tidak sempurna untuk melakukan suatu perikatan. Adapun hal-hal yang termasuk kepada cacat kehendak (uyud ar-ridha) ini adalah: dan penipuan (bedrog) kekhilapan (awalig), paksaan (dwaag) dan penyalahgunaan keadaan atau pengaruh tidak pantas (Undue Influence). Sementara dalam Hukum Islam karena semangat Obyektivisme dalam hukum (Syamsul Anwar, hlm. 79) maka urutan cacat kehendak adalah: paksaan (al-ikrahi) penipuan, (at-tadlis at-takrir), kekhilafan (al-ghalad/al-khotok) dan al-ghobnu.
Adapun dasar hukum dari cacat kehendak adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
ان الله وضع عن امتي الخطﺄ و النسيان و مااستكر هو عليه (ابن مجه)
Sesungguhnya Allah SWT meringankan bagi ummatku suatu kesalahan, lupa dan apa yang membuatnya terpaksa

B. PAKSAAN (اكراه/ dwang)
Paksaan merupakan cacat kehendak yang paling fatal dalam hukum Islam karena sifatnya sangat kongkrit, mangekang kehendak dan memaksanya dengan seketika. Paksaan secara etimologi adalah menyuruh orang lain pada perkara yang tidak dikehendakinya, sementara menurut para Fuqoha’ paksaan adalah menyuruh seseorang untuk mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dikehendakinya/disukai, tanpa adanya pilihan untuk melakukan atau meninggalkan. 0Sementara menurut Liquat Ali Khan paksaan adalah memaksa tanpa hak kepada seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa izin dan dengan cara menakut-nakuti atau dengan ancaman. (Liaquat Ali Khan Niazi , hlm. 111)
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa paksaan adalah suatu paksaan psikis yang merupakan tekanan atau ancaman terhadap seseorang dengan menggunakan cara-cara yang menakutkan agar orang yang dipaksa itu terdorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam hukum Islam secara umum Ikrah atau paksaan dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. اكراه ملجئ أو التام yaitu paksaan yang tidak ada opsi pilihan di dalamnya dan pihak yang terancam tidak bisa lolos karena ancaman dari paksaan tersebut benar-benar nyata dan sangat berat seperti: ancaman pembunuhan atau merusak sebagian anggota tubuh, paksaan seperti ini dapat juga dikatakan dengan اكرا ه قوي (paksaan berat)
2. اكراه ﻏﻴﺮﻤﻟجئ أو نافص Ancaman yang tidak merusak nyawa dan anggota tubuh lainnya, akan tetapi hanya berupa ancaman kesedihan atau duka yang sangat dalam seperti, pukulan ringan, merusak sebagian harta dan diturunkan pangkat serta jabatannya bila tidak melakukan paksaan tersebut. Paksaan seperti ini bisa disebut juga dengan اكراه صغير (paksaan yang)
Adapun syarat-syarat untuk terwujudnya suatu paksaan adalah harus terpenuhinya hal-hal tersebut di bawah ini yaitu:
a. Pengancam mampu menjalankan ancamannya
b. Si terancam tahu atau dapat menduga bahwa ancaman pastilah dijatuhkan bila tidak menuruti paksaan.
c. Ancaman sangatlah memberatkan si terancam.
d. Ancaman bersipat segera di mana si terancam merasa tidak ada kesempatan untuk lolos.
e. Ancaman itu tanpa hak dan merupakan perbuatan melawan hokum. ( Wahbah az-zuhaily, hlm. 215)
Sedangkan akibat hukum dari paksaan adalah dalam hukum positif sebagaimana disebutkan dalam pasal 1323-1324 paksaan tidak mengakibatkan perjanjian batal demi hukum melainkan hanya dapat dibatalkan artinya batal demi hukum adalah tidak ada akibat hukum dari suatu perjanjian tersebut, hanya dapat dibatalkan atau dalam arti perjanjian tersebut sah tapi bisa dibatalkan oleh orang yang akad. Sedangkan dalam hukum Islam para ulama berbada pendapat tentang akibat hukum dari paksaan yaitu:
1. Jumhur Ulama menguatkan bahwa perjanjian tersebut batal sehingga tidak ada akibat hukumnya.
2. Sementara Hanafiyah (sebagian besar) berpendapat bahwa perjanjian tersebut fasid dan bukan batil, akan tetapi apabila ancaman sudah hilang maka pihak terancam mempunyai hak pilih (khiyar) untuk membatalkan atau meneruskan perjanjian tersebut. Dalam hal ini menurut Hanafiyah akadnya adalah mauquf. Menurut Hanafiyah tingkatan suatu akad terbagi kepada 5 tingkatan yaitu: اللازم yaitu merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bisa melahirkan akibat hukum penuh di mana tidak lagi tergantung pada izin pihak ketiga atau tidak lagi mengandung khiyar salah satu pihak. النافذyaitu Akad yang di dalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak, الموقوف Yaitu akad yang tergantung pada izin pihak ketiga. الفاسد akad yang rusak karena menimbulkan kerugian, الباطل akad yang tidak sah sama sekali. (Az-Zarqa’, , hlm. 371-376).

C. PENIPUAN (التقرير/التدليس Bedrog)
Unsur cacat kehendak selanjutnya adalah penipuan yaitu penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak terhadap pihak lawan janji dengan memberikan keterangan-keterangan palsu disertai tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya agar memberikan persetujuannya di mana jelas bahwa kalau tidak karena tipu muslihat itu dia tidak akan membuat perikatan dengan orang bersangkutan, atau paling tidak bukan dengan syarat yang telah disetujui. Sementara menurut az-Zarqa’ penipuan secara bahasa adalah menjebak seseorang ke dalam gharar, sedangkan secara terminologis التغرير atau penipuan adalah sebagai tindakan mengelabui yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain baik dengan perkataan (semata bohong) maupun dengan serangkaian perbuatan (tipu muslihat) untuk mendorongpihak lain melakukan akad di mana kalau bukan karena tindakan penipuan tersebut ia tidak akan memberikan perizinan. (Az-Zarqa’, hlm. 368). Sedangkan dasar hukum penipuan adalah hadits nabi yang berbunyi:
ليس منا من ﻏشنا
“Tidak termasuk Umatku seorang penipu” HR. Jama’ah kecuali B Nasa’i dari Abu Khuroirah

Penipuan dalam hukum Islam sebagaimana dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili ada tiga macam yaitu:
1. التقرير الفعلي Rangkaian perbuatan penipuan melalui perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dengan cara memperlihatkan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Contohnya adalah المصراة yaitu menahan air susu binatang ternak dengan cara mengikat putting susunya selama beberapa hari agar susu binatang tersebut mengumpul dan berisi yang kemudian jika dijual dapat menarik orang untuk membeli. Adapun akibat hukum dari at-takrir al-fi’ly menurut jumhur ulama fiqh kecuali Hanafiyah adalah: para pihak yang tertipu memiliki hak atau opsi untuk memilih (khiyar) yaitu:
a. Tetap mempertahankan barang yang dibeli tanpa meminta ganti rugi atau meminta keseimbangan prestasi
b. Membatalkan atau mengembalikan barang atau benda yang telah dibeli kepada penjualnya. (Wahbah Az-Zuhaily; hlm. 218)
Adapun Landasan hukum yang diambil para Fuqoha’ ini adalah hadits nabi yang berbunyi:
لاتصروا الابل والغنم فمن ابتعها فهو بخير النظرين بعدان يحلبها ان شاء امسكها و ﺇﻦ شاء ردها وردمعهاصاعامن تمر
“janganlah kamu mengikat puting susu keledai dan kambing, danbarang siapa yang telah membelinya maka ia mamiliki dua opsi setelah memerah susunya (dan ternyata ia tertipu), yaitu tetap mempertahankan, atau mengembalikannya dan membawa besarnya satu sak tamar,” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Sementara Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa, tidak ada hak bagi pembeli untuk membatalkan transaksi tersebut, akan tetapi ia punya hak untuk menukar apa yang ia beli itu disebabkan adanya kekurangan atau pembelian tersebut tidak sesuai dengan keinginannya dengan barang yang lebih sempurna.
2. التقرير القولي Yaitu rangkaian perbuatan penipuan yang dilakukan oleh salah satu dari aqid dengan perkataan dusta sehingga mendorong pihak lawan untuk melakukan perjanjian walaupun tidak adanya keseimbangan prestasi (al-Ghabnu) atau disebut juga sebagai penipuan semata bohong. Contohnya adalah: seorang penjual pakaian mengatakan bahwa barang saya ini adalah yang paling baik dari segala merk yang lain dan asli made in America, ternyata setelah dibeli, pakaian tersebut tidaklah lebih baik dan bukan asli made in America. Hanya saja penipuan perkataan dengan perbuatan di mana pada yang terakhir ini penipuan terjadi tipu muslihat tanpa terlihat apakah penipuan itu mengakibatkan pihak tertipu mengalami ketidak seimbangan prestasi yang menyolok atau tidak. Sedangkan penipuan dengan semata bohong baru ada apabila terjadi ketidak seimbangan prestasi yang menyolok. Hukum dari penipuan semata bohong adalah haram. (wahbah Az-Zuhaily, hlm. 220) Adapun akibat hukum dari penipuan semata bohong berbeda akibat hukumnya dalam dua hal yaitu:
a. Wilayah perjanjian amanah: yaitu pihak kedua percaya sepenuhnya kepada pihak pertama contohnya adalah akad murabahah. Dalam akad amanah semata bohong seperti ini sudah dianggap penipuan sehingga pihak pembeli dapat membatalkan perjanjian. Dalam hukum Islam diadakan perjanjian amanah karena hukum Islam menganut sistem hukum berdasarkan etika (etika legal).( Az-Zarqa’, hlm. 377)
b. Dan wilayah perjanjian yang bukan amanah yaitu penipuan semata bohong yang tidak diangap penipuan yang berakibat hukum, kecuali kalau dari transaksi itu terjadi ketidak seimbangan prestasi. Adapun ukuran ketidak pastian ini tidak ditetapkan, dan para ulama berbeda pendapat.
3. التغرير بكتمان الحقيقة yaitu perbuatan menyembunyikan aib atau kekurangan dari suatu benda yang diperjual belikan. Adapun akibat hukum dari menyembunyikan aib seperti ini menurut az-Zarqa’ adalah dengan cara memberikan hak khiyar kepada pihak tertipu yaitu mengmbalikan barang atau membatalkan akad. Sedangkan landasan hukum dari pelarangan perbuatan menyembunyikan aib ini adalah hadits nabi yang berbunyi:
المسلم اخو المسلم لايحل لمسم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الابينه له
“Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang Muslim untuk menjual kepada saudara barang jualan yang mengandung kecacatan (‘aib), kecuali setelah ia menjelaskan ‘aib tersebut kepadanya”. Hadits riwayat Ibnu Majah dari Utbah bin Amir.
Dari hal di atas dapat dipahami bahwa penipuan bukanlah sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya. Perjanjian yang dilakukan dengan penipuan dapat dibatalkan. Bedanya dengan paksaan ialah bahwa ia sadar bahwa ia sadar kehendak itu tidak ia kehendaki, bahwa orang tidak menghendaki tetapi ia harus mau, sedangkan dalam penipuan kehendaknya itu keluri demikian pula kesesatan/kekhilapan tanpa ia sadari sebelumnya. (Purwahid Patrik, SH, hlm. 59)
D. KEKHILAFAN (awalig/ الخطاء والخلط)
Kekhilafan berarti suatu keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk menggambarkan sesuatu tidak sebagaimana kenyataan. dengan kata lain kekhilafan adalah gambaran keliru pada salah satu pihak terhadap obyek atau pihak lawan dalam perjanjian. As-Sanhury, hlm, 350). sementara Patrik Purwahid, SH. mengatakan bahwa suatu kekhilafan akan terjadi jika orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai obyeknya. (Purwahid Patrik .SH. hlm. 58.) dapat dikatakan bahwa suatu kekhilafan bisa terjadi baik terhadap obyek akad maupun subyek (error in persona) akad. [1] Sri Soedewi Masjchon Sofwan, hlm. 22). Adapun contoh kekhilafan terhadap obyek akad adalah: membeli barang yang antik ternyata tidak antik, sedangkan contoh kekhilafan trhadap subyek akad adalah seperti sesorang semestinya ingin membuat perjanjian dengan seorang pelukis bernama Basuki Abdullah tetapi keliru dengan Darsuki Abdullah, atau kesalahan pemilihan pasangan dalam pernikahan karena mempelai kembar. Untuk mengatahui kekeliruan tentang obyek ada tiga yaitu:
Ia menjelaskan maksudnya secara tegas
Disimpulkan melaui situasi
Dipahami dari hakikat sesuatu (Wahbah Az-Zuhaily, hlm. 217.
Sementara dalam hokum positif suatu kekhilafan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dipahami dari hakikat sesuatu (zelsftandingheid van de zaak) yaitu sifat dari sesuatu benda yang dijual yang bagi kedua belah pihak merupakan alasan sesungguhnya untuk melakukan jual-beli atau transaksi tersebut.
2. Dapat diketahui (kenbaarheid) artinya bahwa pihak lawan mengetahui atau seharusnya memahami sebagai manusia yang normal bahwa telah terjadi kekhilafan.
3. Syarat lain adalah dapat dimaafkan (Verrschoonbaarheid) yaitu suatu kekhilafan tidak dapat dimintakan kalau yang meminta itu berdasarkan atas kebodohannya.(Purwahid, SH, hlm. 59)
Akad adalah batal dalam suatu hukum Islam apabila suatu kekhilafan atau kekeliruan terjadi dalam benda yang berbeda jenis atau sama jenisnya namun terdapat perbedaan besar dalam kegunaan dan atau menfaatnya. Berbeda jenis maksudnya adalah bahwa salah seorang berkeinginan untuk membeli sepatu hitam misalnya akan tetapi yang dibeli adalah sandal. Di sini terjadi kekhilafan pada benda yang jenisnya sama akan tetapi ada perbedaan yang sangat mencolok tentang hakekatnya. Kekhilafan seperti ini akan batal dengan sendirinya, karena dianggap bahwa objeknya tidak ada. Namun apabila jenis barangnya sama namun terdapat perbedaan tentang hakekat barang, hanya saja tidak terlalu mencolok melainkan hanya menyangkut sifat yang diinginkan pada barang itu, maka dalam hokum islam akad tidak batal tetapi yang membeli diberikan hak khiyar wasf. Para ahli hokum Islam berpendapat bahwa kriteria kekhilafan yang dapat menyebabkan akad batal adalah ada atau tidaknya yang dikehendaki pada barang tersebut.

E. PENYALAHGUNAAN KEADAAN
Cacat kehendak yang keempat ini merupakan perkembangan yaitu penyalahgunaan keadaan seperti orang Inggris mengatakan undue influence, dalam KUHP atau hukum Belanda terbaru hal ini telah ditetapkan menjadi salah satu dari cacat kehendak dari tahun 2000.
Sebagaimana diketahui justum pretium adalah menjadi dasar dari perjanjian yang timbal balik yang mengharapkan adanya hubungan yang pantas dan seimbang antara kedua belah pihak dalam suatu perjanjian. Teori ini menyatakan bahwa apabila tidak ada keseimbangan yang pantas dalam hubungan antara kedua belah pihak dianggap perjanjian itu tanpa sebab, dan di dalam hukum positif diakui pula jika salah satu pihak merugikan pihak lain dalam suatu perjanjian dapat disebabkan juga karena penyalahgunaan keadaan ini.
Tanpa suatu sebab dalam suatu perjanjian adalah bertentangan dengan kesusilaan, sehingga apabila terjadi penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak, karena keadaan darurat dan tidak seimbang maka perjanjian itu dianggap dilakukan dengan sebab yang tidak diperbolehkan maka perjanjian itu adalah tidak berlaku atau batal demi hukum.
Suatu penyalahgunaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. Prof. Purwahid, Patrik, SH, hlm, 59) Sebagai contoh adalah seseorang yangmencari kerja dikarenakan dalam kesusahan atau susahnya mencari lowongan kerja maka sebuah perusahaan menerima dia tetapi dengan syarat upah yang sangat rendah dan tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan primernya sebagai manusia. Maka perusahaan yang seperti ini dapat dikatakan memanfaatkan situasi sipelamar dengan cara menyalahgunakannya.
Sementara dalam hukum Islam penyalahgunaan keadaan belum diatur sedemikian rupa akan tetapi dalam Islam ada istilah hukum yang hampir sama tujuan dan maksudnya dengan penyalahgunaan kehendak ini yaitu: الغبن. Secara bahasa al-Ghabnu adalah penipuan dalam jual beli atau atau bisa dikatakan an-naqsu/ النقص adanya suatu kekurangan, (Dr. Mahmud Yunus, hlm. 290) Sedangkan menurut istilah al-ghobnu adalah:
1. Menurut Fuqoha’
ان يكون احد العوضين غيرمتعادل مع الاخربان يكون اقل من قيمته اواكثر منها
Adanya Ketidak sessuaian antara seseorang yang berakad dengan pihak lainnya dengan cara meneurunkan harga atau memperbanyaknya. (Wahbah az-Zuhaily, hlm: 221)
2. Sementara menurut Az-Zarqa’ al-ghabnu adalah:
ان تطغي مصلحة احد المتعاقين على ﻤصلحة الاخر بحيث لايكون تواز ماياخذ و مايعطي
Berlebihnya maslahat dari salah satu pihak yang melakukan perjanjian kepada pihak lainnya dengan cara ketidak seimbnagn prestasi antara pendapatan dan penegluaran (pendapatan dan penerimaan). (Az-Zarqa’ hlm. 378)
3. Selanjutnya adalah menurut As-Ssanhury yaitu:
عدم التعادل بين مايعطيه العاقد وماﻴﺄخذه
Tidak adanya keseimbangan antara yang diberikan oleh akid dan yang diambilnya. (As-Sanhury, hlm: 446).
Dari ketiga istilah ini dapat disimpulkan bahwa al-Ghabnu merupakan cacat kehendak yang di dalamnya tidak terdapat keadilan atau keseimbangan prestasi antara satu pihak dengan pihak lainnya. Menurut As-Sanhury dari istilah tersebut di atas dapat diambil kesimpulan ke dalam tiga hal yaitu:
1. Bahwa al-Ghabnu tidak mungkin terjadi kecuali dalam akad-akad Mu’awadhah yaitu akad adanya timbal balik (tukar ganti) antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, sehinggadalam akad-akad tabarru’ hal ini tidak mungkin terjadi karena seseorang memberikan sesuatu dengan tanpa mengharapkan balasan.
2. Al-Ghabnu sering sekali terjadi pada waktu ketika akad dilakukan / berlangsung.
3. Dalam mu’malah al-ghabnu sulit sekali menghindarinya. Karena jarang sekali dalam akad mu’awadah terjadi keseimbangan prestasi antara pendapatan dan pemberian salah satu pihak yang melakukan akad. (as-Sanhury, hlm. 346)
Dalam hukum Islam al-ghobnu kemudian dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. الغبن اليسير yaitu suatu penetapan pengurangan harga di bawah standar umum yang tidak terlalu mencolok, seperti harga suatu benda sebenarnya adalah Rp. 100.000,- namun orang mengerti jelas harga tersebut Rp. 100.000,- menurunkannya dengan harta yang lebih murah Rp. 90.000,- atau Rp. 95.000,- atau mengurangi harganya sepuluh persen dari harga yang sesungguhnya.
Al-Ghabnu al-yasir ini dalam hukum Islam tidak masalah dan tidak memiliki akibat hukum dan tidak bisa dibatalkan, karena hal ini sangatlah sulit untuk menghindarinya dalam dunia Mua’malah, dan hal ini biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang dan telah maklum. Akan tetapi dalam hal ini oleh para ulama Hanafiyyah mengecualikannya ke dalam tiga hal di mana apabila terjadi maka dibolehkan untuk membatalkannya dikarenakan mengandung unsur tuduhan atau kecurigaan, yaitu:
a. Transaksi terhadap orang yang utangnya menumpuk, apabila si penghutang menjual sesuatu dari hartanya dengan cara aal-ghamnu al-yasir maka para pihak yang memberi pinjaman memiliki hak untuk membatalkan akad.
b. Transaksi terhadap orang yang sakit yang sudah ada tanda-tanda untuk meninggal. Jika menjual belikan sesuatu dengan cara al-ghabnu al-yasir maka sah bagi ahli waris setelah meninggalnya si sakit untuk meminta pembatalan akad, kecuali ada kerelaan antara pihak-pihak untuk menghilangkan al-ghabnu.
c. Jika seorang pengurus wasiat menjual harta anak yatim dengan al-ghabnu al-Yasir kepada orang yang tidak boleh menjadi saksi baginya, seperti anaknya dan istrinya maka akad ini adalah batal.
2. العبن الفاخش yaitu suatu penetapan standar harga di atas standar umum dengan cara melampaui batas dan memberatkan misalnya adalah bahwa harga suatu benda sebenarnya adalah Rp. 100 namun orang yang mengerti harga tersebut menetapkannya di bawah standar harga tersebut dengan mengatakan bahwa harga sesungguhnya adalah Rp. 60 atau Rp. 70. Adapun akibat hukum dari al-ghabnu al-fakhiyis para ulama berbeda pendapat yaitu:
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa al-ghabnu al-fakhyis tidak dapat dibatalkan dan tidak boleh mengembalikan obyek akadnya terkecuali jika terjadi serangkaian penipuan di dalamnya seperti, seorang penjual melebih-lebihkan nilai barang dagangannya yang sebenarnya tidak sesuai dengan hakekat barang itu. Ulama Hanafiyah mengecualikannya dalam tiga hal yaitu: Harta benda baitulmal, harta benda waqaf dan harta orang-orang yang muhjur’alahim (orang-orang yang tertahan atau yang tidak diberikan bagiannya dalam harta warisan disebabkan gila idiot dlnn). Maka apabila harta yang ada di atas diperjual belikan dengan al-Ghabnu al-fakhis walaupun tidak dengan serangkaian penipuan maka hal tersebut adalah batal.
b. Ulama Hanbaliyah berpendapat bahwa al-ghabnu al-fakhis ada akibat hukumnya baik itu dilakukan beserta serangkaian penipuan maupun tidak. Maka bagi Magbun memiliki hak untuk membatalkan akad tersebut dalam tiga hal yaitu:
1) تلقي الركبان yaitu Menyongsong kafilah yang datang dari luar kota dan mengatakan kepada mereka bahwa barang yangmereka harganya merosot di pasar, dengan maksud untuk menipu mereka agar mereka menjual barangnya lebih murah. Maka bagi makbun di sini diberikan hak fasakh untuk membatalkannya. Hal ini berdasarkan kepada hadits nabi yang berbunyi:
لا تلقو الركبان
Janganlah kamu menyongsong kafilah di luar. (Muttafaq Alaih)
2) النجش yaitu jual beli di mana pihak ketiga melakukan sesuatu perbuatan yang mengakibatkan harga barang menjadi naik dan pihak ketiga itu bersekongkol dengan pihak pertama. Dalam hal ini ditetapkan khiyar bagi pembeli.
3) المسترسل yaitu Seorang pembeli yangtidak mengerti harga suatu benda, dia hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh si penjual tanpa ada tawar-menawar, namun beberapa saat setelah terjadi jual beli ia memahami bahwa ia telah ditipu, maka dalam kasus ini si pembeli diberikan hak khiyardan jual beli tersebut batal.
c. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa al-ghabnu al-fakhis tidak memiliki akibat hukum walaupun diserta dengan serangkaian penipuan maupun tidak. Karena al-ghabnu kebanyakan terjadi disebabkan oleh kelalaian dari makbun (yang tertipu).(Wahbah Az-Zuhaili, Hlm. 224).

F. IKHTITAM
Dari berbagai penjelasan di atas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa dalam hukum Islam maupun hukum positif atau bahkan dalam hukum-hukum lain seperti KUHP Belanda menetapkan suatu kebebasan untuk melakukan perikatan maupun perjanjian. Yaitu adanya kehendak murni para pihak-pihak yang akan melakukan akad. Maka apabila kehendak para pihak tidak murni disebabkan adanya unsur-unsur cacat kehendak, seperti adanya paksaan, penipuan, kekhilafan dan ketidak seimbangan prestasi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Ketika tiada gading yang tak retak!!



































DAFTAR PUSTAKA



Al-Jassas, Al-Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), II: 294
Asjmuni A. Rahaman, Qaedah-Qaedah Fikih (Qawaid al-Fiqhiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976
As-Sanhury, Ar-Rizqi , Ahmad, Abd., Nazariyatul ‘aqdi, Beirut: Dar al-Fikr, tt). Hlm. 246
Az-Zarqa, Ahmad, Mustafa, al-Madkhal al-fiqihiyu al-ammah, Beirut: Dar al-Fikri, 1968.
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, (Hukum Perjanjian dalam Islam), Jakarta: Sinar Grafika, 1996
Liaquat Ali Khan Niazi, Dr. Law of Contrac, Lahore: Nisbed Road, TT) hlm. 111
Mahmud Yunus, Dr. Kamus, Jakarta: Hidayah Agung
Purwahid, Patrik, SH, Prof., Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju. 1994
Sofwan, SH. Hukum PERDATA: Hukum perutangan, Yogyakarta HPFH UGM, 1980
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, Hukum Perutangan, (Yogyakarta: HPFH UGM, 1980), hlm.18-21
Syamsul Anwar, Teori Kausa dalam Hukum Perjanjian Islam (Suatu kajian asas Hukum), Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Suka 2000

Tidak ada komentar: