09 Februari 2009

REFORMASI HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS POLIGAMI

REFORMASI HUKUM ISLAM
TERHADAP STATUS HUKUM POLIGAMI

(oleh: Asy’ari Hasan, M.AG)

A. Pendahuluan
Genderang pembaharuan hukum Islam yang mulai berdentum pada awal abad 20 membawa negara-negara muslim ke arah kehidupan hukum yang lebih baik. Demikian pula halnya dengan hukum keluarga Islam yang disebut-sebut sebagai Indonesia syari’ah.[1] Pembaharuan di bidang ini berimplikasi luas pada tatanan keluarga ke arah remedialisme, bahkan lebih jauh pada tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Satu hal yang perlu dicacat, mengapa baru pada fase ini gerakan pembaharuan baru dimulai, adalah adanya kenyataan bahwa negara-negara muslim ini baru saja satu persatu lepas dari hegemoni dan imperialisme Barat.[2] Dengan demikian wajar kiranya mereka baru membenahi dan mencoba memproduksi serta mereformasi berbagai konstitusi dan undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara, termasuk hukum negara.
Dalam upaya reformasi ini fokus utamanya mengarah pada status personal yang selama ini masih diatur dalam ketentuan hukum Islam. Mayoritas pemerintah negara muslim menjalankan versi hukum kekeluargaan yang sudah dikodifikasi, yang sekaligus isinya menyimpang secara drastis dari doktrin madzhab hukum yang telah mapan. Untuk mengurangi keberatan kaum konservatif, reformasi sering dilakukan secara tak langsung melalui jalur prosedural. Sebagai contoh hukum baru yang menuntut persyaratan bahwa pernikahan harus dicatat agar sah secara hukum, dan bahwa pasangan harus sudah mencapai usia minimum tertentu, adalah untuk menghalangi pernikahan dini dan perkawinan paksa.[3] Begitu juga tentang poligami dan perceraian yang oleh pemerintah negara muslim mensyaratkan agar perkawinan dan perceraian tunduk pada formasi birokrasi dan kondisi tertentu.
Lokomotif reformasi hukum keluarga adalah Turki, ketika negara ini menerbitkan Ottonom Law Of Family Right (Qonun Qasshas Al Huquq Al’Alih Al-Usmaniyah), kemudian diikuti negara lain. Secara umum, substansi undang-undang hukum keluarga di dunia Islam modern ini telah beranjak dari konstruksi wacana fiqih klasik dan telah mencoba memecahkan persoalan ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga sehingga hak-hak perempuan dalam perkawinan (marital right) diakui.[4]
Walaupun demikian masih juga ada negara yang tetap memakai kitab-kitab fiqih klasik sebagai undang-undang hukum keluarga. Dalam hal ini Anderson mencatat tipologi-tipologi dari perundang-undangan yang ada di berbagai dunia Islam modern. Pertama, negara yang sama sekali tidak melakukan perubahan dan masih tetap memperlakukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam kitab fiqih klasik dalam madzhab yang dianut, dimana syariat dijadikan hukum utama. Kedua, negara yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan menggantikannya dengan hukum sipil Eropa yang sekuler. Ketiga, negara yang berusaha mengkompromikan kedua kecenderungan yang ada tersebut yakni memperlakukan hukum keluarga Islam yang telah diperbaharui.[5]

Salah satu tema reformasi hukum keluarga Islam yang menarik untuk diamati adalah status hukum poligami. Hal ini dikarenakan poligami sering dianggap sebagai satu hal yang paling “memalukan” dan melanggar HAM dari ajaran Islam, sama dengan perbudakan. Terkait dengan hal ini, makalah ini mencoba membahas dan menganalisi tentang poligami dan berbagai pendapat yang terdapat dalam fiqih klasik.

B. Poligami dan Hukum Islam
Praktek seorang laki-laki memiliki beberapa seorang istri yang biasa disebut poligami an terkadang diseut juga dengan Istilah Poligini) merupakan masalah problematik, krusial, kontroversial dalam masyarakat modern. Disetiap belahan dunia, poligami menjadi wacana menarik untuk didiskusikan. Ia tidak hanya menjadi objek perdebatan di dunia Barat, dimana mereka menganggap poligamilah penyebab kemunduran dan keterbelakangan dunia Islam. Sementara di dunia Islam, setelah mendapat pengaruh dunia Barat ia menjadi objek diskusi yang kontroversial yang tiada henti di kalangan terpelajar.[6] Muncul diskursus apakah poligami berlaku secara normatif atau kontekstual.
Mengapa wacana ini menjadi menarik dan bahan kajian bagi semua elemen dalam masyarakat dalam setiap waktu. Dalam hal ini Rubya Mehdi melihat paling tidak ada tiga alasan dasar untuk ini yaitu: (1) Muhammad sebagai Nabi dan tauladan bagi umat Islam menikahi sejumlah wanita; (2) Adanya sistem selir (gundik) sebagai tambahan di luar keempat istri yang dapat menjadi pasangan hubungan seksual dengan para budak; dan (3) Karena kesamaran makna ayat tentang poligami.[7]
Sebagaimana dikemukakan banyak penulis bahwa poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata Politu atau Polus yang artinya banyak dan Gamen atau Gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian absah untuk mengatakan bahwa poligami berarti perkawinan banyak, dan bisa jadi sejumlah yang tak terbatas.[8] Dengan demikian term poligami ini sebenarnya memiliki pengertian umum yaitu memiliki dua orang atau lebih suami atau istri pada saat yang sama.[9] Namun pada perkembangannya istilah ini mengalami penyempitan makna yaitu suami yang memiliki istri dua atau lebih, lazim disebut poliandri.[10]
Dalam Islam poligami merupakan praktek yang problematis dikarenakan ada batasnya yaitu empat istri. Dengan demikian ia adalah “bebas terbatas”. Namun walaupun relatif sedikit ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan. Kalau tafsir itu berlaku secara mainsteam maka sebenarnya tidak ada perbedaan yang fundamental mengenai substansi poligami antara Islam dan non Islam terkait jumlahnya. Adanya perbedaan jumlah ini disebabkan perbedaan dalam memahami ayat Al-Nisa’ 4: 3, sebagai dasar penetapan poligami yang berbunyi:
وان ﺧفتم الاتقسطوافىاليتمى فانكحواماطاب لكم من النساء مثنى وثلث وربع فانﺧفتم الاتعدلوا فواحدة اوماملكت ايمانكم ذلك ادنىالاتعولوا (النساء : 4 : 3).
Dalam pandangan kaum tradisionalis dan sekaligus mainstream fiqih klasik ayat al-Qur’an ini menjadi landasan tiologis yang menjustifikasi adanya praktek poligami. Para mufasir semisal al-Thabari dan al-Jasshash, mengatakan bahwa ayat al-Nisa’ 4:3 ini terkait erat dengan nasib perempuan dan anak yatim menurut al-Thabari, diantara pendapat ulama yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini terkait dengan kekhawatiran tiadanya wali yang bisa berbuat adil terhadap anak yatim. Maka kalau demikian, kekhawatiran tidak bisa berbuat adil ketika poligami, maka cukuplah dengan menikahi budak wanita yang dimilikinya, sebab hal itu akan lebih baik memungkinkan tidak akan berbuat penyelewengan.[11]
Menurut al-Jashash, ayat tersebut berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya. Hal ini didasarkan pada hadis dari Urwah yang berisi larangan menikahi seorang anak yatim yang ada di bawah pengampunannya hanya karena alasan kecantikan dan harta, seorang wali bisa jadi tidak bisa berlaku adil. Karena itu lebih baik menikahi wanita lain. Dalam pandangan al-Jashash, larangan menikahi anak yatim itu begitu kuat. Hal ini terlihat dengan dimasukkannya materi ini pada bab tazwij al-Sghar (pernikahan anak di bawah umur).[12]
Hubungannya dengan status melakukan poligami menurut al-Jashash hanya bersifat boleh (mubah). Kebolehan ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil, baik dimensi nafkah bathin maupun dhahir. Memenuhi nafkah bathin yang meliputi rasa kasih sayang, kecenderungan hati dan lain sebagainya secara adil, sangat berat. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam surat al-Nisa’ 4: 129 yang berbunyi:
ولن تستطيعواان تعدلوابين النساء ولوحرصتم فلا تميلواكل الميل فتذروهاكالمعلقة وان تصلحوا وتتقوافان الله كان غفورارحيما (النساء : 4 : 129).
Al-Zamakhsari mengartikan ayat al-Nisa’ 4: 3 sebagai syarat boleh tidakya menikahi anak yatim. Jika ditakutkan tidak bisa berbuat adil maka dilarang menikahi mereka. Kata Thaba dimaknai sebagai yang halal. Sebab sudah menjadi tradisi orang Arab pra-Islam, menikahi perempuan yatim di bawah pengasuhannya, semata-mata dilandasi kecantikan atau hartanya, dengan tanpa mengurangi mahar.[13]
Dalam pandangan al-Zamakhsari perempuan yang boleh dinikahi bukan berjumlah empat akan tetapi sembilan. Jumlah kutipan ini menurut jalannya penjumlahan dua ditambah tiga ditambah empat. Sementara tuntutan berbuat adil pada istri hanya sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri melakukan sesuatu di luar kemampuannya termasuk perbuatan aniaya (dulm). Padahal Allah SWT berkata:

ﻮﻤﺎﺮﺒﻚ ﺒﻈﻼﻢ ﻠﻠﻌﺒﻴﺪ
Ahli tafsir lain yang bisa disebut di sini adalah al-Qurtubi, Ibnu Qayyim dan al-Syaukani.[14] Secara garis besar mereka memahami pengertian dari ayat di atas sebagai keharusan berbuat adil dalam hal kasih sayang, hubungan biologis, pergaulan dan memberi nafkah sebagai syarat kebolehan poligami. Hal yang mungkin membedakan pendapat di antara mereka adalah tentang status budak perempuan. Menurut al-Qurtubi untuk memperistri budak harus dinikahi dahulu, sementara al-Syaukani tidak mensyaratkan hal itu.
Terkait dengan haramnya menikahi wanita lebih dari empat, al-Syaukani mencatat bahwa hal itu lebih didasarkan pada dua hal; Pertama, poligami lebih dari empat bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab, baik dari tata bahasa umum maupun tinjauan nidham al-Qur’an. Dengan alasan ia mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan boleh mempunyai istri lebih dari empat adalah pendapat yang tidak dilandaskan pada pemahaman bahasa Arab yang benar.
Pandangan mufassir yang juga ahli fiqih tersebut, selaras dengan kitab-kitab fiqih klasik.[15] Kalau dilacak secara teliti, mainstream pendapat yang terangkum dalam kitab fiqih semuanya menghukumi bahwa poligami itu boleh dijalankan. Bahkan kebanyakan dari kitab-kitab ini tidak memberikan syarat kebolehannya, hikmah, atau alasan-alasan yang logis yang melatar belakangi kebolehannya. Wajar kiranya jika pada akhirnya, bagi kalangan ortodoksi marak melakukan praktek poligami tanpa ada motif pendukung yang sebenarnya harus dipertimbangkan. Otoritas teks telah mempengaruhi “suhu badan” mereka untuk secara bebas melakukan praktek poligami.
Alur pemikiran fiqih yang positivistik juga telah mengantarkan adanya kebolehan dijalankannya praktek poligami, asalkan syarat-syarat dhahir bisa terpenuhi yaitu kemampuan berbuat adil dalam pengadaan nafkah dan akomodasi. Jarak untuk mengatakan tidak ada dari ahli fiqih klasik yang mensyaratkan adanya keadilan dalam hal kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, sebagai syarat kebolehan melakukan poligami. Latar belakang munculnya pendapat umum ini kentara sekali didasarkan pada perkataan nabi nabi yang mengantarkan pada pemahaman bahwa seorang Muhammad sendiri tidak mampu berbuat adil dalam hal kebutuhan batin. Beliau misalnya mengatakan “ya Tuhanku inilah kemampuanku dalam memberikan pembagian kepada istri-istriku, karena itu janganlah memaksakan untuk berbuat adil sesuatu yang di luar kemampuanku”.[16]
Elektisme poligami dalam kitab fiqih ini mungkin juga didasarkan pada logika berfikir berbalik; bahwa keadilan seseorang hanya bisa diukur ketika ia melakukan poligami. Orang tidak bisa mengaku adil dan bijaksana terhadap perempuan misalnya, ketika ia hanya memiliki seorang istri. Dibutuhkan ruang perbandingan untuk menjadi seorang yang adil, yang dalam kontek ini adalah dengan poligami. Dengan paradigma demikian wajar jika kiranya kalau pendapat umum fiqih klasik menganggap absah poligami. Dan seandainya ada pro dan kontra hanya seputar kebolehan poligami lebih dari empat yaitu sembilan. Di samping alasan ini, dominasi laki-laki dalam menafsirkan teks agama juga mempermulus “konsepsi menjajah” ini dengan menganggap legitimate praktek ini.[17]
Seiring perubahan waktu, pandangan mufasir dan ahli fiqih pun bergeser. Ahli tafsir modern semisal al-Maraghi berpendapat bahwa pada esensinya, kebolehan poligami merupakan kebolehan yang diperketat. Sebab ia hanya boleh dalam keadaan darurat. Di antara alasan yang membolehkan adalah istri mandul, kemampuan seks ekstra tinggi, suami berstatus kaya raya dan kalau jumlah wanita melebihi jumlah laki-laki.[18]
Sementara al-Sabuni lebih melihat pada hikmah adanya poligami yang menurutnya didasarkan pada: (1) Mengangkat harkat martabat wanita (2) Untuk keselamatan dan terjaganya keluarga dan (3) Untuk keselamatan secara umum. Mengenai batasannya, menurut ijma’ ulama, hanya dibolehkan maksimal empat dan hanya dalam keadaan darurat dan disyaratkan jika mampu berbuat adil.[19]
Kalau ditarik kesimpulan bahwa eksistensi kebolehan melakukan poligami dilandasi sebuah syarat yang cukup berat yaitu kemampuan berbuat adil. Dari kemampuan berbuat adil ini, masih dipilah apakah secara materi saja yang disyaratkan. Begitu peliknya maka logis ketika al-Athar menulis sejumlah akibat dari tindakan poligami yaitu; (1) Menimbulkan kecemburuan antara istri; (2) Kekhawatiran dari istri kalau suami tidak bisa berbuat bijaksana dan adil; (3) Anak-anak dari berlainan itu berkelahi dan (4) Kekurangan ekonomi. Kalau ini muncul dapat dibayangkan bahwa yang terjadi adalah kekacauan dan kedisharmonisan.
Implikasi negatif di atas muncul sepertinya disebabkan dari kekurangan suami memenuhi syarat yang diharuskan al-Qur’an. Berangkat dari sini menjadi mudah dipahami kalau para pemikir dan ulama modern cenderung memperketat kebolehan poligami, bahkan sampai melarangnya (walaupun kondisional sifatnya). Titik tolak dari sini adalah sulit untuk mengatakan tak mungkin bisa berbuat adil sesuai tuntutan al-Qur’an surat al-Nisa’ 4: 3.
Namun demikian Amer Ali memberikan catatan bahwa poligami bisa saja dilakukan kalau masyarakat menuntut adanya demikian, misalnya jumlah perempuan yang melimpah. Dengan demikian keberadaannya tergantung pada situasi dan kondisi dalam artian pada masyarakat yang kurang jumlah wanitanya maka ia tak dibutuhkan lagi. Bahkan bisa jadi ia akan hilang sama sekali ketika pola berfikir masyarakat telah mengubah persepsi dunia.
Ali lebih lanjut mengkritik sikap orang Barat yang memandang poligami sebagai bukan saja tidak halal (ilegal), akan tetapi juga tak bermoral. Dalam pandangannya, lahirnya intuisi tak bisa lepas dari situasi dan kebutuhan sebuah waktu. Dalam paradigma inilah mesti praktek poligami dipahami. Bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami adalah terkait dengan nilai kepentingan sejarah yang berlangsung di Arab ketika itu.[20]
Muhammad Abduh memandang bahwa poligami adalah tidak boleh dan haram hukumnya. Ia bisa saja dilakukan dengan syarat istri tidak mampu mengandung dan melahirkan. Berkenaan dengan persyaratan yang ada pada surat al-Nisa’ 4: 3 menurut Abduh setidaknya poligami dalam tiga status hukum: Pertama: boleh jika sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman; Kedua, syarat-syarat itu terlalu berat untuk ukuran manusia sehingga tidak mungkin untuk dicapai; Ketiga: Bagi yang tidak mampu memenuhi persyaratan itu dituntut untuk melakukan monogami. Mendasar pada uraian ini, Abduh kemudian menarik kesimpulan bahwa adanya kenyataan sulitnya mencapai kemampuan memenuhi syarat-syarat itu dapat dipahami bahwa tujuan utama dari syari’ah dalam hal perkawinan adalah monogami.[21]
Sedikit berbeda dengan Abduh, Rasyid Ridla beranggapan bahwa melakukan poligami haram hukumnya, kalau suami tidak bisa berbuat adil. Namun demikian kalau dihubungkan dengan ayat al-Nisa’ 4: 3 maka ada pemahaman bahwa kebolehan melakukan poligami merupakan sebuah tindakan yang benar-benar darurat dan sangat terpaksa. Menurut Ridla, tujuan agama adalah kemaslahatan atau kesejahteraan dan mencegah kesusahan. Sehingga tindakan darurat boleh dikerjakan kalau hal tersebut betul-betul terpaksa.[22]
Sementara Fazlur Rahman berpendapat bahwa kebolehan mempunyai istri lebih dari satu merupakan suatu pengecualian karena keadaan tertentu. Ada dua solusi memuaskan yang diberikan oleh al- Qur’an terkait dengan hal ini yaitu: pertama, bahwa poligami yang terbatas hukumnya boleh dan; kedua, kebolehan berpoligami diatur dengan sebuah moral berupa keadilan. Dengan ini al-Qur’an berharap agar suatu masyarakat berjalan sesuai dengan tuntutan zamannya.

C. Analisis Status Hukum Poligami (sebuah tawaran reformasi)
Di depan telah dipaparkan beberapa pandangan mufassir, fuqaha dan cendekiawan mengenai kedudukan hukum poligami. Dari deskripsi itu nampak jelas adanya silang pendapat mengenai boleh tidaknya poligami; jumlah maksimal; syarat-syarat kebolehan dan detail-detail lain yang melingkupinya. Para pemikir klasik cenderung membolehkan poligami walaupun disertai adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti mampu berbuat adil. Perbedaan yang terasa diantara mereka terkait jumlah maksimal yaitu ada yang membatasi empat tahun ada juga yang secara permisif membolehkan sampai sembilan. Sementara pemikir mutakhir (Modern) cenderung untuk mempersempit kebolehan poligami, bahkan ada yang melarang sama sekali.
Dari berbagai pendapat baik secara elektik membolehkan maupun yang secara ekstrim melarang tersebut, dapat diambil satu pemahaman bahwa masalah poligami memang masalah yang harus disepakati hukum ikhtilafnya. Dengan demikian adanya dua kutub pemahaman memang tidak dapat dihindarkan dan konspirasi mencari dalih adanya perubahan sosial, politik, dan juga isu kesetaraan jender tidak akan merubah secara frontal pandangan tradisional mengenai poligami. Sebab didapati juga pemikir mutakhir yang membolehkan secara permisif dari tradisi yang dianggap melecehkan perempuan ini.
Dengan menggunakan ini pengelompokkan yang ditawarkan oleh Tahirr Mahmood yaitu; (1) Boleh poligami secara mutlak; (2) Poligami dapat menjadi ancaman cerai; (3) Poligami harus ada izin dari pengadilan; (4) Pembatasan poligami lewat kontrol sosial; (5) Poligami dilarang secara mutlak (6) Dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan poligami.[23] Kita dapat membuat penilaian-penilaian tentang mana yang progresif, mana yang evolutif dan mana yang resistentif terhadap pembaharuan dari pendapat para ulama tersebut. Hitungan pengelompokkan ini menunjukkan bahwa semakin besar angka maka akan semakin progresif, sementara semakin kecil angka maka ia semakin resisten. Kebolehan poligami secara mutlak adalah mewakili wacana pemikiran tradisional yang kolot sementara larangan untuk berpoligami mewakili pemikiran progresif.
Terlepas dari hal itu di zaman globalisasi ini terutama munculnya gerakan feminis maka setidaknya perlu peninjauan kembali status poligami atau dilakukan reformasi yang dimaksudkan untuk menjangkau dan menjawab tantangan zaman agar responsif dan tidak anakronistik. Motivasi dari usaha ini timbul dilatar belakangai faktor internal dan eksternal. Bagaimana kedua hal ini mendorong lahirnya reformasi setidaknya bisa dilihat pada dua hal yaitu; adanya perubahan fatwa hukum dari masa ke masa dan intervensi kebijakan negara atas substansi Islam.
Pada kasus yang sama usaha memperbaharui UU Hukum Keluarga Islam khususnya masalah poligami yang dianggap ekstrim juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Maka dalam kontek ini setidaknya ada dua bentuk sifat reformasi yaitu; Intra doctrinal reform dan extra doctrinal reform. Yang pertama dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa madzhab atau mengambil pendapat lain dari madzhab yang dianut, sementara yang kedua dengan cara memberikan penafsiran yang ada. Di samping kedua bentuk ini sebenarnya ada dua hal karakter reformasi lain yaitu regulattory reform atau legislasi dan kodifikasi. Kedua sifat terakhir ini cenderung kepada proses mengacarakan; mengatur administrasi, dan mengkodifikasi hukum yang ada. Dengan demikian kedua sifat terakhir adalah sifat dari proses bagaimana rumusan itu diundangkan.
Terlepas dari itu, tak bisa dipungkiri memang ada satu dilema yang harus dihadapi ketika reformasi dilakukan bahwa usaha ini akan menghadapkan dua pendapat ekstrim yaitu yang menginginkan agar ia tetap Islam dan pendapat yang mengatakan perlu adanya perubahan total. Lantas bagaimana kedua kepentingan ini dijembatani dan terakomodir dalam reformasi hukum yang dilakukan. Dalam amatan Anderson, setidaknya ada empat metode yang bisa digunakan menyelesaikan masalah ini yaitu.
a. Prosedural: memfokuskan pada persoalan-persoalan prosedural dengan meninggalkan pembahasan substansi hukum secara utuh.
b. Melakukan kompromi antar madzhab hukum dalam rangka menyelesaikan atau membuat UU. Metode ini terkenal dengan istilah talfiq.
c. Memberikan interpretasi baru terhadap teks yang sudah ada, guna menemukan hukum baru. Jalan ini ditempuh jika upaya takhayyur dirasa tidak efektif. Dalam Islam usaha ini biasa disebut ijtihad.
d. Menggabungkan atau mengkombinasikan metode-metode di atas untuk kemudian dilakukan upaya pemberlakuan atas hukum yang telah dipilih. Lebih populer upaya ini disebut legislasi.[24]
Point keempat ini merupakan langkah yang signifikan dimana legislasi hukum memberikan kekuatan bagi peraturan yang diterapkan sehingga ia mampu dan mempunyai konsekuensi hukum (sanksi hukum) yang dilaksanakan. Legislasi ini bisa mengambil UU dalam bentuk hukum keluarga (Khususnya mengenai status poligami).
Dalam analisis Tahir Mahmood, secara umum madzhab hukum yang dianut oleh suatu negara muslim digunakan untuk menyelesaikan problematika hukum. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu yang berbeda dengan madzhab mayoritas tersebut, maka metode pembaharuan Islam dalam hal ini harus diadaptasikan. Dalam amatannya setidaknya ada beberapa metode yang bisa digunakan yaitu: Takhayyur, talfiq, siyasah, syar’iyah dan ijtihad.[25]
Mendasar paradigma Anderson dan Tahir Mahmood ini akan nampak bahwa metode yang digunakan mereformasikan status hukum poligami dengan modifikasi di sana-sini, bisa dibaca dan dipahami. Bahkan kalau diamati secara seksama proses dan latar belakang pembentukan masing-masing hukum tersebut step by step menggunakan kombinasi dua skema model metode ini. Mungkin yang membedakan antara satu dengan yang lainnya adalah proporsi: dominan tidaknya satu metode digunakan.

D. Penutup
Dari uraian di atas kita dapat menarik suatu konklusi bahwa adanya reformasi dalam hukum Islam (hukum keluarga) tentang masalah poligami perlu dilaksanakan dalam rangka membangun peradaban yang lebih manusiawi di dalam menempatkan posisi perempuan. Berbagai dampak perubahan sosial-politik dan ekonomi sangat mempengaruhi proses reformasi dan hasil yang dicapai.
Tentunya dalam aplikasi reformasi tersebut para Ulama haruslah mempelajari kembali secara umum teks maupun kontekstualitas yang ada pada masyarakat untuk membuat suatu tatanan hukum baru tentang poligami. Reformasi, supremasi atau apapun istilahnya adalah tidak akan mungkin tercapai dalam memperbaharui hukum Islam terutama hukum poligami jika para ulama masih tetap bersikokoh terhadap pendapat individu maupun mazhab tertentu, dalam hal ini perlu kiranya para Ulama mencoba menerapkan metode yang ditawarkan oleh Anderson dan Tahir Mahmood.
DAFTAR BACAAN

Antony Allat, Introduction, dalam Chilibi Mallat dan Jane Cannors (ed), Islamic Family Law, USA: Graham and rotman, 1990
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, Richmond: Curzoon Press Ltd, 1994
Fazlur Rahman, “A Survey of Modenization of Muslim Family Law”, dalam International Journal of Middle East Studies, II. 1980
Khoiruddin Nasution, Riba dan poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
_________________, Perkawinan Sirri dan Antar Agama: Fenomena Perkawinan Indonesia”, makalah pada seminar “Islam dan tantangan modernitas dalam perkawinan” KMA PBS IAIN Sunan Kalijaga tanggal 22 November 1997.
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, New Delhi: Academi Of Law and Relegion, 1987
_________________, Family Law Reform In The Muslim world” New Delhi: The Indian Law Intitute, 1972.
JND. Anderson, “Modern Trend in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, dan International and Comparative Law Quertely, No. 2 1971
_________________, Islamic Law In the Modern World, London: Sweet and Maxmall Ltd, 1956
Raja El-Nimr, “Perempuan dalam Hukum Islam”, May Yamani (ed), Feminisme dalam Islam, terj., Purwanto Jakarta: IKAPI, 2000
Labib MZ., Pembelaan Umat Muhammad, Surabaya: Bintang, 1986
Abdurrahim, Umran, Islam Dan Keluarga Berencana, terj. Muh. Hasyim, Jakarta: Lentera, 1997.
Ibn Jarir Al-Thabari, Jmi’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Dar Fikr, 1958
Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar Kitab al Islamiyah, tt
Al-Zamakhsari, Al-Khassyaf, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966
Al-Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: dan Kitab al-Arabiyah, 1997

Ibnu Qoyyim, Tafsir Ibnu Qayyim, Beirut: Dar Fikr, 1988
Al-Syaukani, Fatkh Al-Qadir, Beirut: Dar Fikr, 1973
Muhammad bin abdullah al Dimsiqi, Rahmat Al Ummar Fi Ihtilaf Al-‘Aimah, Beirut: Dar Fikr, tt
Taqiyyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Dimsiqi, Kifayat al-Akhyar, Surabaya: Syirkah Nur Aisya, tt
Ibrahim al-Bajuri ‘ala Ibnu Qasim, Surabaya: Maktabah: Hidayah, tt
Muhammad Satha’ al-Dimyati, I ‘anat al Talibin, Beirut: Dar Fikr, ‘993 Abi Zakariya al Anshari, Fath al-Wahhab Sarh Minhaj al-Thulab, Jeddah: Al-Haramain, tt
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mesir: Mustafa al-Bab al-Habibi, 1963
Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, Makkah: Dar Qur’an Karim, 1992
[1] Antony Allat, Introduction”, dalam Chilibi Mallat dan Jane Cannors (ed), Islamic Family Law, (USA: Graham and rotman, 1990), hlm. Xi-xiii
[2] Joseph Candrad Membahasakan dengan nyata, baginya setiap jelajah daerah baru (termasuk daerah Islam) yang pernah dijajah Barat adalah, memberi sinar ruang yang gelap gulita sehingga memaksa mereka memulai dengan pola kehidupan baru dari titik terendah.
[3] Lihat lebih lanjut Khoiruddin Nasution, “Perkawinan Sirri dan Antara Agama: Fenomena Perkawinan Indonesia”, makalah pada seminar “Islam dan tantangan modernitas dalam perkawinan”, KMA PBS IAIN Sunan Kalijaga tanggal 22 November 1997.
[4] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: Academi Of Law and Regilion, 1987), hlm. 12
[5] JND. Anderson, Islamic Law In the Modern World, (London: Sweet and Maxmall Ltd, 1956), hlm. 82-83, Bandingkan dengan Tahir Mahmood, Family Law Reform In the Muslim world” (New Delhi: The Indian Law Intitute, 1972), hlm. 2-3
[6] Raja El-Nimr, “Perempuan dalam Hukum Islam”, May Yamani (ed), Feminisme dalam Islam, terj, Purwanto (Jakarta: IKAPI, 2000), HLM. 133
[7] Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (Richmond: Curzoon Press Ltd, 1994) hlm. 161.
[8] Labib MZ, Pembelaan Umat Muhammad, (Surabaya: Bintang, 1986), hlm. 15
[9] Abdurrahim, Umran, Islam dan Keluarga Berencana, terj. Muh. Hasyim, (Jakarta: Lentera, 1997 ), hlm. 136
[10] Lois Laya al-Faruqi, Islamic Tradition and the Feminist Movement; “Confrontation and coorporation”, dalam Islamic Quartelly: No. 27, 1983, hlm. 136.
[11] Lbn Jarir Al-Thabari, Jmi’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar Fikr, 1958), IV hlm. 155-157.
[12] Al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, ( Beirut: dar Kitab al Islamiyah, tt), hlm. 50-54.
[13] Al-Zamakhsari, Al-Khassyaf, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966), hlm. 496-497.
[14] Lihal al-Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kiro: dan Kitab al-Arabiyah, 1997), hlm. 20, Ibnu Qoyyim, Tafsir Ibnu Qoyyim, (Beirut: Dar Fikr, 1988), hlm, 219, al-Syaukani, Fatkh Al-Qadir, (Beirut: Dar Fikr, 1973) I, hlm. 419.
[15] Lihat misalnya, Muhammad bin abdullah al Dimsiqi, Rahmat Al Ummat Fi Ihtilaf Al-‘Aimah, (Beirut: Dar Fikr, tt), hlm. 37; Taqiyyudin Abi Bakar bin Muhammad al-Dimsiqi, Kifayat al- Akhyar, (Surabaya: Syirkah Nur Aisya, tt) II, hlm. 38; Ibrahim al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, (Surabaya; Maktabah: Hidayah,tt), II, hlm. 130; Muhammad Stha’ al-Dimyati, I’anat al Talibin, (Beirut: Dar Fikr, ‘993) III, hlm. 295.; Abi Zakariya al Anshari, Fath al-Wahhab Sarh Minhaj al-Thulab, (Jeddah: Al-Haramain,tt), II, hlm. 43.
[16] Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i.
[17] Bahwa kebanyakan mufassir dan ahli hukum adalah laki-laki. Wajar kiranya jika penafsiran yang dilakukan terjadi bias jender. Hal ini akan berbeda ketika penafsiran dilakukan dalam mind set perempuan. Setidaknya itulah yang tergambar dalam penafsiran yang dilakukan oleh tokoh feminisme Arab, semisal Nawal El Sa’dawi dan Fatimah Mernisi.
[18] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Habibi, 1963), IV, hlm. 181.
[19] Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (Makkah: Dar Qur’an Karim, 1992) I, hlm. 427-428.
[20] Sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) , hlm. 101-102.
[21] Ibid, hlm. 102-104.
[22] Rasyid Ridla, Tafsir al- Manar, 1374, IV, hlm. 348-349.
[23] Fazlur Rahman, “A Survey of Modernization of Muslim Family Law”, dalam International Journal of Middle East Studies, II, 1980, hlm. 451-452.
[24] JND. Anderson, “Modern Trend in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, dan International and Comparative Law Quertely, No. 2 1971, hlm. 12.
[25] Tahir Mahmood, Family Law......, hlm. 11-12.

ISLAM DIANTARA DUA TITIAN


ISLAM DIANTARA DUA TITIAN
Oleh: Asyari Hasan

Saya adalah seorang fundamentalis
Tapi saya tidak fanatik”
HASSAN HANAFI
.

Setelah kran demokrasi 1998 dingaungkan oleh ”reformasi” pada bumi yang kata Soekarno merupakan negeri ”loh jinawi toto tentram kerto raharjo” ini Islam sebagai agama terbesar pun bak katak diantara tetesan hujan, bersukacita penuh bahagia, hal ini ditandai dengan menjamurnya sekte-sekte Islam dengan pola organisasi, ciri khas, dan paham yang berbeda serta simbol keagamaan dan bendera ”ketuhanan” yang beraneka. Kesemuanya menjadikan aliran dan paham mereka sebagai ”tiket” gratis menuju sorga. Sama–sama menjadikan Allah sebagai sembahan dan Muhammad sebagai rasul, namun perbedaan tetap saja di garda depan. Mereka berpacu menampilkan arogansi perbedaan dengan ciri khas dan warna yang berbeda, sebagian memproklamirkan diri sebagai pembela Islam dan menerapkan sistem arabisme, menjadikan jubah sebagai uniform baju kebesaran organisasi, doktrin jenggot sebagai sunah rasul, jidat harus dihitamkan, wanita harus bertopeng minimal jilbaber, Allahu akbar, dijadikan sebagai mars motivasi spontanitas. Disamping itu muncul kelompok berseberangan dengan bendera liberalisme dan pluralisme dengan ciri khas jilbab dada buka (jildabuk), kaum anti jilbab(ktb) dengan alasan gender dan emansipasi serta ragam lainnya, yang pada dasarnya lebih mengedepankan fanatisme berlebihan.
Keberagaman tersebut tidak jarang menumbuhkan benih-benih permusuhan, hujat-menghujat, dan saling cemeeh antara sesama, yang bermuara pada perpecahan Islam. Terbukti tahun 2005 salah satu kelompok yang menamakan diri jemaah Ahmadiyah karena terlalu exclusive dianggap mengembangkan aliran sesat dan menyalahi statute ketuhanan oleh kelompok Islam lainnya yang mengaku paling benar dan akhirnya ahmadiyah dibredel dan dihancurkan, tak lama kemudian kelompok jemaah Islam liberal (jil) dengan konsep liberalismenya, mereka dikutuk habis-habisan oleh sekte Islam sebagai aliran yang radikal karena telah mencampur adukkan ideology Islam dengan ideology bara, bahkan ada kelompok sekte Islam tertentu yang menfatwakan para pengikut jil halal darahnya. Ormas Islam yang dianggap lebih moderat dan pengikutnya mayoritas di Indonesia NU VS Muhammadiyah selalu berada diliang konflik dalam menetapkan awal-akhir ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang berimplikasi pada kondisi sebagian melaksanakan ibadah puasa sedang muslim lainnya berjalan sambil merokok sambil ngemil. Parahnya lagi ada oknum Islam tertentu yang “atas nama tuhan” menghalalkan darah manusia bahkan muslim lainnya, bom-bom penghancur diciptakan untuk menjadikan tempat-tempat ibadah sebagai tempat pesta darah dan daging manusia. Dengan tanpa penyesalan sedikitpun pembunuhan-pembunuhan tersebut dilakukan dengan dalih jihad fisabililah. Inikah Islam..? Padahal Al-quran mengajarkan ”masuklah kamu kedalam Islam dengan cara kaffah” (al-baqarah 208)” dan kami tidak mengutusmu hai Muhammad kecuali rahmat bagi alam semesta “(al-anbiya), (dan kami jadikan manusia berbangsa dan suku-suku untuk saling memahami…)(al-hujurat 13). Nabi juga mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahma. Kenapa harus saling mengedepankan perbedaan yang akhirnya bermuara pada pertikaian, permusuhan dan cemeehan…??
Pernah para ahli psikologi berdebat tentang apa yang mereka sebut the great paradoxes of the psychology of religion, mereka tidak mengerti mengapa agama yang mengajarkan persaudaraan di antara sesama manusia melahirkan manusia dengan tingkat prasangka yang tinggi. Agama yang sakral dan dianggap sebagai “rahmat" serta "penyelamat" manusia ternyata karena agama memunculkan sekte-sekte dan perbedaan ideologi, semakin memperuncing pertiakaian. Tak pelak di balik janji “peace” agama ada “violence”. Tragis jika setiap orang berani dan tanpa malu mengaku-ngaku sebagai wakil tuhan walaupun abstrak, bukankah klaim ”atas nama tuhan” sesungguhnya ditunggangi ”kepentingan dan tendensi”. Sekilas apa yang dikatakan Gus Dur bahwa "tuhan tidak perlu di bela" barangkali ada benarnya jika di sikapi obyektif, sebab terlalu banyak yang di korbankan karena tuhan. Karena tuhan tidak membutuhkan pertolongan dan pembelaan dari manusia, ia maha kuasa (al-Qowy), maha besar (al-Kabir), kaya(al-Ghaniy). Tuhan juga tak perlu di benar-benarkan karena dia memiliki kebenaran absolut, dengan pembenaran terhadap tuhan maka tidak jarang manusia memonopoli kebenaran, dengan sikap nyeleneh dan cenderung menapikan kebersamaan.
Dalam penelitiannya Adorno, dkk, (1950) pernah melakukan penelitian klasik tentang prejudice dimana beliau mengidentifikasi karakteristik prejudice manusia yaitu: Otoriter, panatisme kesukuan dan golongan, konservatisme politik dan ekonomi, dan anti-semitisme, sehingga sangat mengherankan kenapa orang yang berkecimpung dalam dunia keberagamaan atau sebut saja orang saleh lebih sering menampakkan prejudice dari pada orang yang tidak saleh. Allport berusaha menjawab paradoks ini dengan membagi 2 macam keberagamaan, yaitu: tidak dewasa (ekstrinsik) dan dewasa (intrinsik). Keberagamaan yang tidak dewasa merupakan agamanya anak-anak yang memandang bahwa Tuhan sebagai “bapak” mereka yang bertugas melayani kehendak dan kebutuhannya: merawat, menjaga, dan mengurus segala keperluannya, keberagamaan seperti ini sangat cocok untuk anak-anak tetapi menjadi disfungsional jika di lakukan oleh orang dewasa. Keberagamaan yang “tidak dewasa” bersifat menghakimi dan selalu menilai orang lain untuk mencari kesalahannya (fideis subyektivisme al-aqlu al-Lahiti). Orang yang menjalankan praktik beragama untuk memenuhi kebutuhannya pada dasarnya adalah lebih menginginkan status, kenyamanan pribadi dan pembenaran diri(apologetic) yang tidak dewasa dalam beragama juga tendesius (misionerik tradisional) dalam membuat sesuatu,pekerjaan yang dilakukan jarang sekali dilakukan berdasarka kebersamaan dan kesucian hati,ia selalu mengharapkan imbalan dibalik pekerjaan yang ia lakukan dan terkesan memaksakan kehendak orang lain.
Sedangkan buat orang beragama berdasarkan”kedewasaan”(intrinsic)motif keagamaan diletakkan diatas motif pribadi dan kelompok,ia lebih memahami sesuatu dgn obyektif,verstehen,universal dan lebih mencari jalan tengah yg terbaik demi kemaslahatan bersama.ia tidak mudah menyalahkan sesuatu yg berbeda, ia cendrung bersikap demokrat dan memahami perbedaan sbg warna-warni kehidupan.
Back ground disiplin ilmu dan pengguanaan metode interpretasi dalam memahami teks(al-quran dan hadist) adalah pemicu munculnya disintegrasi ideology dalam paradigma dan aplikasi sehingga dpt mengarah pd pembangunan ta’assufisme(fanatic)yg berlebihan dan radikalisme antara kelompok Islam.sebut saja,ada dua kekuatan besar yg menhantui Islam kini,pertama adalh pemahaman keagamaan formalistic-tekstual,yg lebih mengedepankan pemahaman secara formal teks al-quran dan hadis,mereka hampir tdk dapat mengambil yg tersirat mereka hanya mengambil yg tersurat,terakhir disebut sbg kelompok fundamentalis Islam.layaknya kelompok khawarij masa awal Islam yg menganggap la hukma illa lillah (tdk hukum kecuali milik allah) shg mereka sgt mudah dalam mengkafirkan manusia termasuk orang Islam sendiri yg tdk memutuskan sesuatu dgn al-quran.kedua adalah kelompok Islam subtantif-kontekstual,dimana mereka menganggap perlu diadakan kajian ulang thd teks-teks keberagaman dan dikontekstualisasikan dg fenomena saat sekarang dg menggunakan berbagai metode baru disiplin ilmu.sebab teks bukanlah berhala yg harus dikultuskan abadi,makna tersiratnya harus dire-interpretasi kemali dan disesuaikan dg konteks kekinian,karena banyak hal zaman sekarang yg perlu dilakukan ijtihad baru karena tidak ada pada masa nabi.hal inilah yg memunculkan intelektual-intelektual muslim brilian yg ingin menggagas kembali pemahaman thd teks-teks dan menghubungkan dg konteks kekinian.hal ini dpt dilihat dari ekspresi para intelektual Islam kontemporer,seperti fazlurrahman,arkoun,hasan hanafi,m.syahrur,nasr hamid abu zaid,abi harb an-naim.
Fazlurrahman mengatakan tdk lagi cukup memadai utk menggunakan teori fiqh dan ushul fiqh ttg membahas qat’iyyat dan zhanni.ia menawarkan ideal moral dan legal spesifik sbg pembagian awal tradisi Islam.arkoun,menawarkan pemahaman ulang ttg tradisi Islam dgn membedakan secara tegas antara turasdengan turats.dia mempertanyakan semakin kaburnya dimensi kesejarahan dalam ilmu fiqh.ia juga mempertanyakan pengkultusan thd teori klasik fiqh yg telah disusun beberapa abad yg lalu namun sampai sekarang masih terus diajarkan.sementara problematika dan tantangan sekarang sangat berbeda dg masa lalu. Hasan hanafi menganggap perlunya sikap kritis thd tradisi kini dg tradisi lampau.ia mengatakan bahwa manusia tdk bisa lepas dari tiga akar pijakan berpikir:kemarin(al-madhi),yg dipersonifikasikan dg turast qadim(budaya klasik),esok(al-mustaqbal)atau atturast al-gorbi(khazanah barat),sekarang (al-hali)yg dipersonifikasikan sbg al-waqi’(realitas kontemporer).demikian juga dg m.syahrur yg menawarkan teori bacaan kontemporer,(qira’ah mu’ashirah),Abu zaid dg reinterpretasi teks suci,Ali harb dg teori dari kritik akal ke kritik teks,dan Abdullah ahmed an-naimdg teori naskah-mansukh yg berbeda dg pemahaman umat Islam selama ini.
Sedangkan menurut al-jabiri ada tiga aliran pemikiran Islam yg menonjol dalam perkembangan keilmuan Islam:pertama pemikiran filsafat yg jelas menekankan pada penggunaan akal dan rasio dg bukti yg nyata atau bisa disebut paradigma burhani karena lebih mengedepankan rasio dan empiris.kedua pemikiran kalam tauhid yg lebih mengedepankan pada teks-teks naqliyah dg sedikit bumbu aqliyah,pemikiran ini disebut dg paradigma bayani pada peranan penjelasan otoritas nash dan teks suci.ketiga pemikiran taswuffi yg lebih menekankan pada penggunaan rasa,dg bukti-bukti yg sulit dipertanggung jawabkan secara empiris,dan ini dapat disamakan dg paradigma irfani karena banyak menekankan pada peranan intuisi,qalb,dhamir,dan zauq. Islam anda seperti apa? Sudah dewasa atau masih kanak-kanak?? Saya,anda,kita ada dimana?? Atau tidak ada sama sekali????

DOA MAYYIT

DOA MAYYIT


بـسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين حمدايوافي نعمه ويكافي ء مذيده يا ربنا لك الحمد كما ينبغي لجلال وجهك وعظيم سلطانك.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, dengan puji yang sebanding nikmat-Nya dan mencukupi tambahnya. Ya Allah bagimulah segala puji dan segala yang patut bagi keagungan dzat-Mu dan kebesaran kerajaan-Mu.

ﺍﻟﻟﻬﻢﺍﺟﻌﻞ ﺛﻮﺍﺏﻣﺎﻗﺮﺋﻨﺎﻩﻭﺑﺮﻛﺔ ﻣﺎﺗﻠﻮﻧﺎﻩ ﻭﻣﺎﻫﻠﻠﻨﺎﻩ ﻫﺪﻳﺔ ﺑﺎﻟﻏﺔ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﻣﻨﻚ ﻧﺎﺯﻟﺔﻧﻗﺪﻣﻬﺎ ﻭﻧﻬﺪﻳﻬﺎ ﺍﻟﻰ ﻧﺑﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪﺻﻞﺍﻟﻟﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﻠﻰﺍﻟﻪﻭﺻﺤﺒﻪﺍﺟﻤﻌﻴﻦ
ﻭﺑﺎﻟﺨﺻﻮﺹﺍﻟﻰ ﻤﻦﺍﺟﺘﻤﻌﻨﺎﻫﺎﻫﻨﺎ ﺑﺴﺒﺒﻪ ياارحم الراحمين.
Ya Allah jadikanlah pahala yang kami baca dan keberkahannyatahlil yang kami baca sebagai hadiah yang disampaikan dan rahmat darai engkau kami haturkan kepada jungjungan kami nabu Muhammad SAW dan kelurga serta para sahabatnya keseluruhan. Dan terutama kepada sesuatu yang menyebabkan kami berkumpul karena ya Allah yang Maha pengasih lagi penyayang


اللهم اغفرل (nama mayit) وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الفابرين واغفرلناوله يارب العالمين. وافسح له في قبره ونورله فيه.

Ya Allah, berilah ampunan kepada (nama mayat), angkatlah derajatnya di tempat-tempat perbaringan. Berilah dia ganti untuk kesudahan perbuatannya di masa-masa silam. Ampunilah kami dan dia hai Tuhan alam semesta, lapangkanlah untuk dia dalam kuburnya dan berilah cahaya di dalam kuburnya.

اللهم ارحمه بالقرآن العظيم رحمة واسعة واغفرله مغفرة جامعة يامالكالدنيا ولأخرة يارب العالمين.
Ya Allah, kasih sayangilah dia dengan Al Qur’an yang agung dengan rahmat yang luas. Ampunilah dia dengan ampunan yang menyeluruh, wahai Tuhan yang menguasai dunia dan akhirat, wahai Tuhan semesta alam
أللهم انزل في قبره الرحمة والضياء والنوروالبهجة والروح والريحان والسرورمن يومناهذا الي يوم البعث والنشورانك ملك رب غفور
Ya Allah, limpahkanlah rahmat padanya di dalam kuburnya, terangilah, padangkanlah, istirahatkanlah, harumilah dan gembirakanlah mulai sekarang hingga hari kebangkitan. Sesungguhnya Engkaulah Tuhan yang merajai lagi Maha Pengampun.

أللهم اجعل القرآن العظيم في قبره مونساوفي القيامة شافعاوفي الحشرضياء
وظلاودليلا وفي الميزان راجحاوعلي الصراط نورا وقائداوعن النارسترا
وحجاباوفي الجنة رفيقا.
Ya Allah, jadikanlah Al Qur’an yang agung temannya di dalam kuburnya, dan penolong di hari kiamat, penerang, pengayom dan penuntun serta pembela di hari mahsyar, memenangkan timbangan amal baiknya, cahaya dan penuntun di atas shirat, penghalang dan penutup dari neraka, dan menjadi teman baik di dalam surga.

أللهم عبدك وابن عبد يك خرج من روح الدنيا وسعتها ومحبوبه واحبائه الي ظلمة القبر وماهولاقيه كان يشهد ان لآاله الا انت وان محمدا عبدك ورسولك وانت اعلم به.اللهم انه نزل بك وانت خير منزول به واصبح فقيرا الي رحمتك وانت غني عن عذابه وقد جئناك راغبين اليك شفعاء له.
Ya Allah, hamba-Mu anak kedua hamba-Mu (Adam dan Hawa) keluar dari peristirahatan dunia, kelapangannya yang disenanginya kepada kegelapan kubur. Maka janganlah digelapkan dalam kuburnya, karena dia menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Engkau, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah seorang hamba-Mu dan utusan-Mu, sedangkan Engkau lebih mengetahui hal ituYa Allah, tempatkanlah dia di tempat yang sebaik-baiknya, dia sangat mengharapkan rahmat-Mu, sedangkan Engkau adalah kaya dari siksanya, sedangkan kami datang kepada-Mu dengan senang memohon syafaat baginya.

اللهم ان كان محسنافزد في احسانه وان كان مسيئا فتجاوزعنه ولقه برحمتك رضاك وقه فتنة القبر وعذابه وافسح له في قبره وجاف الارض عن جنبيه ولقه برحمتك الامن من عذابك حتي تبعثه امناالي جنتك يا ارحم الراحمين.
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه.

Ya Allah, jika dia orang yang banyak kebaikannya, maka tambahkanlah kebaikan padanya dan jika dia berbuat kejelekan, maka ampunilah kejelekan daripadanya, berilah keridhaan-Mu kepadanya dengan rahmat-Mu, peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksanya, luaskanlah baginya di dalam kuburnya, pisahkanlah bumi darinya, selamatkanlah dia dari siksa-Mu sampai hari kebangkitan, dan masukkanlah ke dalam surga-Mu wahai sebaik-baik Penyayang dari para penyayang.

اللهم اغفرﻟﻪ وارﺣﻤﻪعاﻓﻪ واعف ﻋﻨﻪ يارب العالمين.واجعل اللهم ثوابا مثل ثواب ذالك في صحا ئفنا وفي صحا ئف والدين ومشايخناوالسادات الحاضرين ووالديهم ومشايخهم خاصة والي اموات المسلمين عامة.
Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, dan maafkanlah segala kesalahannya wahai Tuhan semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pahala semisal pahala itu di dalam buku-buku kami dan buku-buku kedua orang tua kami, guru-guru kami dan leluhur-leluhur kami, serta kedua orang tua mereka dan guru-guru mereka pada khususnya, dan orang-orang Islam yang telah mati pada umumnya.

اللهم اغفرلحيتنا وميتنا وشا هد نا وغا ئبناوصغيرناوكبيرنا وذ كرنا وأنثا نا.
اللهم من أحييته منا فأحيه علىالاسلام ومن توفيته منا فتوفه علي الايمان
ياارحم الراحمين.
Ya Allah, ampunilah yang hidup dan yang mati diantara kami yang hadir dan yang absen, yang besar dan yang kecil, yang laki-laki dan yang perempuan diantara kami. Ya Allah orang yang Engkau hidupkan diantara kami hidupkanlah dengan memeluk Islam, dan orang yang Engkau wafatkan diantara kami wafatkanlah bersama iman Ya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

اللهم ان ( nama mayat ) في ذمتك وحبل جوارك فقه فتنة القبروعذاب الناروأنت اهل الوفاء والحق فاغفرله وارحمه انك أنت الغفورالرحيم
Ya Allah sesungguhnya (nama Mayat) dalam tanggungan Engkau dan dalam ikatan tetangga Engkau. Jagalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka. Engkau adalah Maha Sempurna dan Maha Benar. Karena itu ampunilah dan sayangilah dia. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Penyayang.

اللهم اجعل قبره روضة من رياض الجنة ولاتجعل قبره حفرة من حفرالنيران
Ya Allah jadikanlah kuburnya salah satu taman dari taman surga dan janganlah Engkau jadikan kuburnya lubang dari lubang api neraka.

ﻭالحمد لله رب العالمين
@@@@@@@@@@@
PENGAJIAN AL FATIHAH
TANJUNG ARO II PASAMAN
By;arie

MANJALAKI BORU (LAGU TAPSEL)

Manjalaki Boru

Muda adong do Sikkoru
Adong huta adong do boru
Tai anggo naso adong dope jodoh
Sodong nara sodong na olo
Bahat pe huta na dij ajo

Loja baya loja do au
Loja au pahe pahulu
Ma tipis baya sipatu sampe tolu
Leng naso dapot dope boru
Borat do namarpanti on

#Sian Panoppuan I mada kehe tu Panti
Maradian ma di aek badak
Boru agian pe husapai
Hape madung puna ni halak

Sian Panoppuan torus mada tu Panyanggar
Marsuo ma dohot boru regar
Tarsum ma hami martumbuk khobar
Dainangi kalah di mahar

Haccit…haccit naon nadangolon
Haccit….haccit naon nasuadaon

Loja baya loja do au
Loja au pahe pahulu
Ma tipis baya sipatu sampe tolu
Leng naso dapot dope boru
Borat do namarpanti on

#Sian Panoppuan Marmayam tu
sigalangan
Hu ida ma boru Nasution
U pio mada lakka matobang
Hape baya madung tunangan


Sian Panoppuan I tu batang onang lama
U sapai ma si boru tulang
Na siakkaan dung tu bagasna
Anggi nai di sambar dongan
Haccit…haccit naon nadangolon
Haccit….haccit naon nasuadaon


Borat………….
Borat do namarpanti on.

A K U

Jika Aku Memang Tanah:

Ǻku Gak Berambisi Jadi
“T@Nah Haramain”

Namun Aku Juga Belum Mau Kalau Hanya Jadi
“T@Nah Kuburan

Aku Hanya Ingin Jadi
“T@Nah Tayammum”

MONOPOLI DAN IHTIKAR DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM

MONOPOLI DAN AL-IHTIKAR
DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM
Abstrack
Monopoli sebagai anak keturunan dari ekonomi kapitalis dengan pandangan hidup liberalnya, banyak ditentang oleh masyarakat . Sebab monopoli ternyata membawa dampak negatif bagi kompetisi pasar yang sehat. Pada pasar monopolis produsen-produsen lain tidak akan dapat bertahan., bahkan yang lebih buruk produktifitas dengan sengaja diturunkan demi tujuan politis, yaitu mengatur harga agar maksimal. Maka dengan sendirinya akan terjadi kelangkaan akan barang (scarcity) dan dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat (konsumen). Islam dengan sistem ekonominya mencoba untuk mementahkan ideologi monopolistik dengan memunculkan berbagai konsep baru yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis. Pertanyaannya apakah monopoli dalam mu’amalat Islam sudah terkonsep? Benarkah monopoli dan al-ihtikar sama?

Kata kunci: al-ihtikar, Monopolistiy’s rent, oligopoli, normal profit, price maker, natural monopoli, scarcity

A. Pendahuluan
Dalam mempertahankan hidup manusia diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar manusia dalam mengatur dirinya untuk memenuhi kebutuhan yang ada, selama tidak berbenturan dengan kepentingan orang lain. Sebab jika manusia melanggar batas kebutuhan antara sesamanya maka akan terjadi konflik. (Heri Sudarsono, 2000: 1)
Pun dalam aturan-aturan syari’at Islam menuntut dan mengarahkan kaum muslimin untuk melakukan tindakan sesuai dengan apa yang dibolehkan dan dilarang oleh Allah SWT. Demikian pula dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, nilai-nilai Islam senantiasa menjadi landasan utamanya. Siapa saja yang ingin bermuamalah dibolehkan kecuali yang dilarang. Hal ini memberikan ruang dan gerak yang luas bagi umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup. (Imam Subhan, 2003: 29)
Meskipun Islam memberikan kesempatan yang luas bagi kaum muslimin untuk menjalankan aktivitas ekonominya, namum Islam menekankan adanya sikap jujur, yang dengan kejujuran itu diharapkan dapat dijalankannya sistem ekonomi yang baik. Sebab Islam sangat menentang adanya sikap kecurangan, penipuan, praktek pemerasan, pemaksaan dan semua bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain. )Huzaimah T Yanggo, 1997: 92)
Apalagi, saat ini kehidupan manusia semakin lama dihadapkan kepada situasi yang sulit, dimana munculnya kelangkaan (scarcity) sumber daya yang semakin terbatas. Di sisi lain hasrat dan kebutuhan manusia untuk mencari kepuasaan pribadinya semakin banyak dan kompleks seiring dengan perkembangan jaman. (Sri Adiningsih, 1999:1). Dengan situasi ini pihak yang lemah hanya mampu untuk mempertahankan hidupnya agar tetap survive. Sangat berat bagi mereka untuk meningkatkan income dan taraf hidup. Sementara di sisi lain pihak yang memiliki peran ekonomi kuat dengan pola perilaku aneh dan ekstrim yang tidak pernah diikuti dengan nilai-nilai ketuhanan tidak merasa puas menambah dan menumpuk harta dan kekayaan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Ini disebabkan karena orientasi ekonominya sudah melenceng dimana ekonomi yang dipahami sebagai jawaban untuk memenuhi keberlangsungan hidup ternyata banyak diinterpretasikan sebagai pencarian untung semata (profit motif) dan penimbunan harta sebanyak-banyaknya serta extravaganza dalam mempergunakan otoritas ekonomi sehingga memunculkan sistem yang tidak seimbang.
Maka di sinilah kejujuran dan keadilan perlu dijaga, sebab acapkali situasi ini menimbulkan ketidakadilan dimana para penumpuk harta tidak lagi mempertimbangkan norma-norma dan kemanusiaan, mereka hanya mengikuti hawa nafsu yang tamak dan merusak bumi. Dalam ekonomi seringkali pola tersebut muncul, terutama dengan sistem ekonomi liberal kapitalis yang dapat menghalalkan segala cara demi merengkuh keuntungan dunia semata. Mereka tidak mengenal siapa kawan, egosentrisme menjadi prinsip “Elu…lu…, gue…gue.." menjadi ucapan manis yang saban hari keluar dari mulutnya. Salah satu dari contoh tersebut dalam dunia bisnis adalah "monopoli" yang berciri monopolistic rent atau dalam istilah Islamnya disinyalir merupakan persamaan al-Ihtikar.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menganalisa ulang tentang keberadaan al-Ihtikar yang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam dan menjembatani "perbedaan tipisnya" dengan monopoli dalam ekonomi perspektif Islam, serta akibat yang akan dimunculkan oleh monopoli dan al-Ihtikar tersebut.
B. Monopoli dan Al-Ihtikar
Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir “hampir mirip” dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-barang) atau tempat untuk menimbun. (W.J.S Poerwadarminta, 1994: 307) Dalam kajian fikih al-Ihtikar bermakna menimbun atau menahan agar terjual. (Ahmad Warson Munawir, 1994:307). Adapun al-Ihtikar secara terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya. (Yusuf Qasim, 1986:75). Para ulama berbeda pendapat dalam memahami obyek yang ditimbun yaitu: kelompok pertama mendefinisikan al-Ihtikar sebagai penimbunan yang hanya terbatas pada bahan makanan pokok (primer) dan kelompok yang kedua mendefinisikan al-Ihtikar secara umum yaitu menimbun segala barang-barang keperluan manusia baik primer mapun sekunder.
Kelompok ulama yang mendefenisikan al-Ihtikar terbatas pada makanan pokok antara lain adalah Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafi’i) dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah ihtikar adalah menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash.
Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas dan umum diantaranya adalah imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi). Beliau menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ‘ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar sebagai membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut. (As-Sayyid Sabiq, 1981: 162).
Fathi ad-Duraini mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Al-Ihtikar menurut ad-Duraini, tidak hanya menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari pembeli jasa dengan syarat, “embargo” yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain. Misalnya, pedagang gula pasir di awal Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya, karena mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula di pasar, harga gula pasti akan naik. Ketika itulah para pedagang gula menjual gulanya, sehingga pedagang tersebut mendapat keuntungan (profit) yang berlipat ganda. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent. (Adiwarman Karim, 2000:154)
Sedangkan yang dimaksud dengan monopoli dalam istilah ekonomi adalah hak menguasai secara tunggal perdagangan dimana pihak lain tidak boleh ikut campur, sehingga monopolis (pemegang hak monopoli) dapat melakukan produksi dan penawaran harga sekehendaknya. (Dahlan al-Barry, 1994: 482) Monopoli juga merupakan suatu bentuk pasar dimana hanya ada satu firma saja dan firma tersebut menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat. (Sadono Sakirno, 2001: 261) Pemegang hak monopoli memiliki hak untuk memproduksi barang-barang usahanya sesuai dengan kehendaknya, sehingga di saat tertentu bisa saja stok yang ada dalam perusahaan ditahan dan tidak dipasarkan dengan maksud untuk menaikkan harga dan meningkatnya permintaan dari konsumen, sehingga akan meningkatkan kelangkaan suatu barang.
Ada tiga macam bentuk monopoli yang terjadi dalam pasar, yaitu:
Natural Monopoly, yaitu monopoli yang terjadi secara alamiah atau karena mekanisme pasar murni. Pelaku monopoli merupakan pihak yang secara alamiah menguasai produksi dan distribusi produk tertentu.
Monopoly by Struggle, yaitu monopoli yang terjadi setelah adanya proses kompetisi yang cukup panjang dan ketat. Persaingan berjalan fair, tidak terjadi proses-proses yang melanggar aturan pasar terbuka. Berbagai pelaku bisnis yang terlibat dalam sektor tersebut telah melakukan kompetisi yang yang panjang dan ketat melalui berbagai situasi dan hambatan
Monopoly by decree, yaitu proses monopoli yang terjadi karena adanya campur tangan pemerintah yang melakukan regulasi dengan memberikan hak istimewa kepada pelaku ekonoi tertentu untuk menguasai pasar suatu produk tertentu. (Iswardono SP, 1990:104)
Berbeda dengan oligopoli, perusahaan oligopoli tidak dapat begitu saja menaikkan harga karena jika hal ini dilakukan maka pembeli tidak akan membeli barang yang akan dijualnya, juga tidak diperkenankan menurunkan harga karena perusahaan lain akan turut menurunkan harga yang sama dan tidak akan ada satu perusahaan yang memperoleh keuntungan maksimum akan harga barang tersebut melebihi keuntungan perusahaan yang lain. Dalam sistem ini terjadi persaingan pasar yang sehat dan kompetitif. Firma-firma yang ada memproduksi jenis barang yang sama dan bersaing untuk mendapatkan simpati konsumen, sehingga diharapkan terjadi stabilitas ekonomi pasar dan lebih mengutamakan pelayanan yang prima.
Dari terminologi di atas dapat dipahami bahwa al-Ihtikar dalam dataran konseptual berbeda dengan monopoli, namun jika dilihat dari dataran faktualnya memiliki banyak persamaan, sedangkan perbedaannya adalah sangat tipis sekali.
Adapun persamaannya adalah:
Monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki unsur kepentingan sepihak (motivasi yang kuat) dalam mempermainkan harga (price maker)
Pelaku monopoli dan al-ihtikar sama-sama memiliki hak opsi untuk menawarkan barang-barang ke pasaran atau tidak
Monopoli dan Ihtikar dapat mengakibatkan polemik dan ketidakpuasan pada masyarakat.
Monopoli dan ihtikar merupakan salah satu cara golongan orang kaya untuk mengeksploitasi (Zulm) golongan miskin.
Sedangkan diantara perbedaan monopoli dan ihtikar adalah:
1. Bahwa monopoli terjadi jika seseorang memiliki modal yang besar dan dapat memproduksi suatu barang tertentu di pasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan Ihtikar tidak hanya bisa dilakukan oleh pemilik modal besar namun masyarakat menengah dengan modal alakadarnya pun bisa melakukannya
2. Suatu perusahaan monopolis cenderung dalam melakukan aktifitas ekonomi dan penetapan harga mengikuti ketentuan pemerintah (adanya regulasi standard pemerintah), sedangkan ihtikar dimana dan kapan pun bisa dilakukan oleh siapa saja, sebab penimbunan sangat mudah untuk dilakukan.
3. Untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum, dalam ihtikar kelangkaan barang dan kenaikan harga suatu barang terjadi dalam waktu dan tempo yang tentitif dan mendadak dan dapat mengakibatkan inflasi. Sementara dalam monopoli kenaikan harga biasanya cenderung dipengaruhi oleh mahalnya biaya produksi dan operasional suatu perusahaan walaupun kadang-kadang juga dipengaruhi oleh kelangkaan barang.
4. Praktek monopoli adalah legal dan bahkan di negara tertentu dilindugi oleh undang-undang atau aturan suatu negara, sedangkan ihtikar merupakan aktifitas ekonomi yang ilegal.
C. Dasar Hukum
Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan Allah untuk memilikinya, maka halal pula dijadikan sebagai obyek perdangan. Demikian pula segala bentuk yang diharamkan untuk memilikinya maka haram pula memperdagangkannya. Namun terdapat ketentuan hukum Islam bahwa barang itu pada dasarnya halal, akan tetapi karena sikap serta perbuatan para pelakunya yang bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram. Dalam al-Qur’an secara langsung tidak ada disebutkan mengenai al-Ihtikar (Monopolistic rent). Tetapi ada ayat yang menyebutkan mengenai penimbunan emas dan perak, yaitu:
والذين يكنزون الذ هب والفضة ولاينفقو نها فى سبيل الله فبشر هم بعذاب ﺍﻟﻳﻢ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang sangat pedih” QS (9): 34.

Walaupun tidak ditemukan secara jelas dalam al-Qur’an tentang al-Ihtikar (Monopoli) tetapi ia mempunyai hubungan dengan riba. Dalam riba terdapat unsur zulmun (menganiaya) orang lain diakibatkan karena ketidakmampuan peminjam untuk membayarkan utangnya tepat waktu maka secara otomatis harga menjadi naik melebihi pokok pinjamannya dan hal ini memberatkan yang mengakibatkan sipeminjam teraniaya dan secara terpaksa harus membayarkan tambahan modal tersebut. Sementara ihtikar walaupun secara implisit, juga menagandung zulmun (menzhalimi) dan masyarakat akan merasakan akibat fatalnya. Sebab al-Ihtikar bertujuan untuk mencari keuntungan yang lebih banyak, dengan menimbun barang yang beredar di pasaran dapat mengakibatkan kelangkaan dan tentunya akan terjadi kenaikan harga secara otomatis di atas normal. Sehingga masyarakat yang biasanya tidak kekurangan barang dan dapat membelinya sesuai kehendaknya tanpa merasakan kesulitan, namun karena akibat ihtikar tersebut mereka jadi kekurangan barang dan sulit untuk menjangkau harga agar dapat memnuhi kebutuhan mereka, namun karena sudah terdesak akan kebutuhan pokok dan hidup sehari-hari barang yang langka tersebut akhirnya dibeli juga walaupn terpaksa. Pada kasus ini terdapat unsur menganiaya dan memaksa bagi si pelaku Ihtikar dan teraniaya serta keterpaksaan bagi masyarakat walaupun ia tidak berlaku secara eksplisit. Firman Allah:
……… ﻻﺗﻆﻟﻣﻮﻦﻮﻻﺘﻆﻟﻣﻮﻦ …….
“….kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya….” QS (1):278
واحل الله البيع وحرم الربا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba” QS (2):275”
Dalam beberapa hadis Nabi juga menyinggung mengenai al-Ihtikar di antaranya:
لايحتكر الاخاطىﺀ.
“Tidaklah seorang penimbun kecuali ia orang yang berdosa”, At-Turmudzi 307: 1980
Larangan dalam hadis tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan, menjauhi dan menghindari. Sementara cercaan atau predikat bagi orang yang melakukan penimbunan dengan sebutan khati’ berarti orang yang berdosa dan berbuat maksiat merupakan suatu indikasi yang menunjukkan bahwa tuntutan untuk meninggalkan tersebut bermakna tegas (keras). Orang yang berbuat maksiat dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran syara’ dan mengingkari ajaran syara’ merupakan perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian perbuatan al-Ihtikar termasuk perbuatan yang diharamkan.
Namun larangan yang sangat tegas tentang penimbunan barang berdasarkan hadis:
الجالب مرزوق المحتكر ملعون.
Seorang saudagar (importer) akan diberi rezki dan seorang penimbun (monopolis) akan dilaknat” (Ibnu Majah 768: 978)
Adapun hadis berikut menjelaskan mengenai penimbunan terhadap bahan makanan:
من احتكر على المسلمين طعاماضرب الله بالجلد ام والافلاس.
“Barang siapa yang menimbun bahan makanan terhadap orang-orang muslim, maka Allah akan menjadikan dia dalam kebangkrutan” (Ibnu Majah 768: 978)

Sedangkan hadis lain yang menjelaskan tentang perdagangan dengan menaikkan harga dari suatu bahan pokok untuk memonopolisasi harga dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya:
من دخل في شئ من اسعار المسلمين ليغليه عليهم كان حقا على الله ان يقعده بعظم من النار يوم القيا مة.
“Barang siapa yang menaikkan harga suatu bahan pokok kaum Muslimin agar ia lebih kaya daripada mereka maka Allah berhak untuk menempatkannya di neraka jahannam pada hari qiamat” (Abu Dawud)
D. Kriteria al-Ihtikar dalam Islam
Dalam hal ini para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan penimbunan yang haram adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya, berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Karena seseorang boleh menimbun untuk persediaan nafkah dirinya dan keluarganya dalam tenggang waktu selama satu tahun.
2. Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut kepadanya.
3. Bahwa penimbunan dilakukan pada saat dimana manusia sangat membutuhkan barang yang ditimbun, seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Jika barang-barang yang ada di tangan para pedagang tidak dibutuhkan manusia, maka hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.(Ali Abd ar-Rasul, 1980: 1980, dan As-Sayyid Sabiq, 1981: 100)
Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat disimpulkan, bahwa penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan nafkah dirinya dan keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila menimbun barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan dirinya dalam waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan yang wajar untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis ekonomi lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat membeli barang tersebut, maka penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenangan-wenangan terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah bukan pembelian barang. Akan tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil pembeliannya juga karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena langkanya industri seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jiak memiliki keriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan di suatu tempat yang penduduknya akan menderita sebab adanya penimbunan tersebut.
2. Penimbunan dilakukan untuk menaikkan harga sehingga orang merasa susah dan supaya ia dapat keuntungan yang berlipat ganda. .(Yusuf al-Qardawi, 2000: 358)
E- Monopoli dan al-Ihtikar : Sebuah Refleksi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang sehingga barang tersebut menjadi langka dipasaran dan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi sehingga warga setempat sulit untuk menjangkaunya. Hal ini bisa dipahami bahwa apabila tersedia sedikit barang maka harga akan lebih mahal. Apalagi jika barang yang ditimbun itu merupakan kebutuhan primer manusia seperti bahan makanan pokok (semisal sembako).
Al-Ihtikar yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar (sebagaimana disebutkan) mempunyai kesamaan dengan praktek monopoli. Yang mana monopoli biasanya mengacu pada penguasaan terhadap penawaran harga. Suatu monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lainnya. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan orang lain. (Nejatullah as-Siddieqy, 1991:45) Sehingga dengan motif ingin memaksimumkan keuntungan, maka perusahaan monopoli akan dengan mudah menetapkan harga barang sesuai dengan keinginannya. Oleh karena pada umumnya, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif, dan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetitif. (Abdul Manan, 1997:151).
Al-Ihtikar begitu juga sebagian monopoli yang dilakukan oleh sebagian pelaku pasar sengaja mengupayakan agar barang yang ditimbun menjadi langka di pasar. Dengan demikian masyarakat akan kesulitan menemukan barang tersebut di pasar dan kalaupun ada namun harga yang ditawarkan sangatlah mahal dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Sehingga dalam keadaan seperti ini konsumen berusaha mencari barang pengganti yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan pendapatannya, dengan mengganti barang-barang yang kurang berguna dengan barang-barang hanya memerlukan pengeluaran kecil. Para konsumen juga tidak mampu mengurangi kuantitas yang dibeli dengan segera setelah harga suatu barang naik. Pada mulanya mereka tidak akan sadar akan adanya barang-barang pengganti yang potensial. Namun demikian, selang berapa waktu konsumen akan menyimak beberapa barang pengganti yang muncul di pasar.
Suatu pasar dapat dikatakan monopoli apabila: Pertama, hanya terdapat satu produsen dalam industri, kedua, produknya tidak ada barang pengganti, ketiga, ada hambatan untuk masuknya produsen baru, (Abdul Manan, 1997: 151) dapat menguasai penentuan harga, dan promosi iklan tidak terlalu diperlukan. (Sadono Sakirno, 2001: 262) Dalam kenyataan struktur pasar monopoli yang memenuhi kriteria di atas sulit dijumpai. Banyak produsen mempunyai saingan dalam bentuk barang pengganti yang dihasilkan oleh produsen lain. Misalnya, perusahaan kereta api di Indonesia, kelihatannya monopoli negara. Namun jika dikaitkan dengan ciri monopoli yang kedua, (tidak ada barang pengganti) maka perusahaan tidak murni merupakan monopoli.
Lebih khusus Hendre Anto menguraikan bahwa sebenarnya monopoli tidak selalu merupakan suatu keadaan pasar yang buruk bagi perekonomian, bahkan beberapa jenis usaha memang lebih baik jika diupayakan secara monopoli seperti dalam natural monopoly. Adanya natural monopoly yang sebenarnya justru menguntungkan konsumen, sebab konsumen akan mendapatkan barang dengan harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan dalam pasar bersaing. Tetapi, salah satu keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan harga pada tingkat yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan laba, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan masyarakat. (Hendri Anto, 2002 : 310)
Islam melarang praktek yang seperti ini karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada orang lain. Begitu juga dengan menimbun terhadap barang-barang kebutuhan pokok sangat dikecam dalam Islam karena biasanya apabila harga barang-barang kebutuhan pokok naik maka akan berpengaruh frontal terhadap harga-harga barang lainnya, sehingga harga barang menjadi tidak stabil dan dapat mengakibatkan krisis.
Di dalam teori ekonomi kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya perlu mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui al-Ihtikar dan monopoli yang semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim hendaknya bukan hanya berpatok atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi. Tapi lebih pada apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang di perintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangannya.
Apabila seseorang telah melakukan penimbunan barang atau memonopoli komoditi dengan semena-mena, maka orang yang bersangkutan pada hakekatnya telah menarik barang dari pasar sehingga persediaan barang di pasar menjadi berkurang dan langka. Perbuatan semacam ini menunjukkan adanya motivasi mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan bencana dan mudharat yang akan menimpa orang banyak, asalkan dengan cara itu dapat mengeruk untung yang sebanyak-banyaknya. Kemudharatan ini akan bertambah berat jika si pengusaha itulah satu-satunya orang yang menjual barang tersebut atau terjadi kesepakatan dari sebagian pengusaha yang memproduksi maupun menjual barang tersebut untuk mengurangi atau menimbunnya, sehingga kebutuhan masyarakat akan barang tersebut semakin meningkat sehingga harga pun dinaikkan setinggi-tingginya. Bagaimanapun juga dalam hal bahan pokok masyarakat (konsumen) yang sangat membutuhkan akan tetap membelinya meskipun dengan harga yang tinggi dan tidak layak.
Dalam pandangan Islam harga harus mencerminkan keadilan (price equvalence), baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi pasar yang bersaing sempurna harga yang adil ini dapat dicapai dengan sendirinya, sehingga tidak perlu ada intervensi dari pemerintah. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab ia akan mencari monopolist rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar (penimbunan) yang mempunyai tujuan mencari monopolist rent. Untuk itu pemerintah perlu bahkan wajib melakukan intervensi sehingga harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dan Islam sangat menjunjung tinggi keadilan.
Pada dasarnya Islam menerima perdagangan bebas. Dalam arti bermuamalah ada kebebasan untuk melakukan aktivitas (freedom to act). Setiap individu dapat melakukan aktivitas ekonominya dengan bebas, kebebasan dalam perspektif ekonomi Islam tentu saja kebebasan yang tidak melanggar kaidah-kaidah yang telah diatur dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas para ulama. Karena diharapkan instrumen-instrumen yang dijalankan dengan sitem ekonomi Islam mampu menciptakan simetrisitas antara kesejahteraan individu dengan kesejahteraan masyarakat.
Menurut penulis pada dasarnya Islam tidak melarang monopoli secara mutlak apalagi yang melakukan monopoli adalah negara, namun pandangan Islam berhati-hati terhadap mekanisme penentuan harga didalam monopoli yang cenderung berpotensi menghasilkan kerugian bagi konsumen. Sebab harga ditentukan lebih berorientasi kepada kepentingan produsen saja. Artinya bahwa monopoli jika di asumsikan sebagai al-Ihtikar dengan pengertian pelangkaan barang terhadap barang produksi kebutuhan utama masyarakat dengan menaikkan harta ketika permintaan meningkat maka hal ini adalah di haramkan (monopolistic rent). Dengan ungkapan yang sangat sederhana bahwa Islam pada dasarnya tidak mempermasalahkan apakah suatu perusahaan monopolis atau oligopolis sepanjang tidak mengambil keuntungan di atas normal. namun Islam secara jelas melarang Ihtikar (penimbunan) yaitu mengambil keuntungan di atas normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, atau dalam Istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent-seeking.
Dalam perdagangan Islam harga harus mencerminkan keadilan, baik dari posisi produsen maupun konsumen. Jika para produsen monopolis dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri tanpa ada kontrol masyarakat dan lembaga pemerintahan, besar kemungkinan harga yang terjadi bukanlah harga yang adil sebab sangat terbuka peluang untuk melakukan monopolistic rent. Itulah sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar dan bahkan menyamakannya dengan monopoli, sebab ihtikar merupakan perbuatan monopolistic rent. Sehingga dapat diasumsikan bahwa praktek monopoli kurang mendapat simpati dalam Islam karena hal ini sangat rentan mempermainkan harga barang sehingga dapat merugikan konsumen.


F- Penutup
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi komparatif tentang keberadaan Monopoli dalam sistem ekonomi kapitalis yang disinyalir hanya "beda tipis" dengan terminologi Ihtikar dalam konsep muamalah Islam walaupun pada dasarnya keduanya memiliki perbedaan dan akibat hukum yang berbeda dimana Islam melarang keras ihtikar dan monopoli sah-sah saja asalkan tetap mengutamakan norma dan etika. Namun ini bukanlah harga mati yang mutlak menjadi suatu kebenaran. Ekonomi Islam yang masih "seumur jagung" tetap mencari konsep-konsep baru dalam menghadapi berbagai tantangan sistem dan prilaku ekonomi yang setiap saaat berubah

























Daftar Pustaka
Adiningsih, Sri, Ekonomi Mikro, Yogyakarta, BPEF, 1999
al-Barry, M Dahlan Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: ARKOLA, 1994
al-Qardawi, Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, (Terj), Surabaya: PT Bina Ilmu, 2000
ar-Rasul, Ali, abd, Dr., Al-Mabadi’ al-Iqtisodioyyah fi al-Islam wa al-Bana’ al-Iqtisodiyyah li ad-Daulah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 1980
as-Siddieqy, Nejatullah, Aspek-Aspek Ekonomi Islam, (Terj), Solo: CV Ramadhani, 1991
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, “Kitab al-Buyu’”, Kairo: Mustafa al-Babi, 1980
Dahlan, Abdul, Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru, 1996
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomiu Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2000
Iswardono, SP, Ekonomi Mikro, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 1990
Karim,Adiwarman Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: IIIT Indonesia, 2000
Majah, Ibnu, Sunan Ibni Majah, “Kitab at-Tijarah”, Semarang : Toha Putra, tt
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Terj), Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1997
Munawwir,Ahmad, Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Pondok Pesantren “al-Munawwir”, 1994
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1976
Qasim,Yusuf, At-Ta’mil at-Tijariyyi fi Mijan asy-Syari’ah, Kairo: Dar an-Nahdhoh al-‘Arabiyyah, 1986
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Libanon: Dar al-Fikr, 1981
Sakirno, Sadono, Prengantar Teori Mikro Ekonomi, Jakrta: PT. Radja Grafindo, 2001
Subhan, Imam (ed), Siasat Gerakan Kota dan Jalan Untuk Masyrakat Baru, Yogyakarta: Labda, 2003
Yanggo, Khuzaimah, Tahido, dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997



MAHASISWA DAN REVOLUSI EKONOMI

Mahasiswa dan Revolusi Ekonomi
(Constructive Movement : From teks to Conteks)
Oleh: Asyari Hasan [*]

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi Cakrawala
Dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
-WS Rendra
Setan Wacana Hegemonik
Sabar dan Ikhlas adalah “wacana hegemonik” dalam prilaku kegamaan Islam. Kata-kata yang acap kali didengar segenp muslim, di Musholla, Masjid dan tempat-tempat publik, para tokoh-tokoh “Uswatun Hasanah” yang mengatasnamakan Buya, Kyai, Ustad, Kaum intelektual, Pejabat dan Dosen, dengan meggunakan legalitas teks (Nas) “sesungguhnya Allah Bersama Orang yang sabar” -al-Baqarah) mengajak masyarakat untuk selalu bersabar dalam berbagai aspek, termasuk dalam ekonomi. Maka tak heran buruh, tukang becak, pelacur, gigolo, buya, mahasiswa kaum santri dan Tukang Ojek terhipnotis dan terperdaya oleh kata-kata para pesohor” di atas, sehingga mereka dengan sangat naïf bangga “dengan Gelar ” kemiskinannya. Tanpa sadar mereka telah menjadi boneka perbudakan (slavary) ideologi dan paradikma yang salah.
Tak anyal, mana ada ustad yang super kaya yang walaupun ada barang kali hanya “AA Gym”, Adakah Dosen IAIN, STAIN dan UIN yang jadi konglomerat? Parahnya kehidupan yang begitu tidak adil ini dianggap sebagi takdir Tuhan dan manifestasi dari ujian yang dipilih Allah untuk menguji ummat manusia, sebab para Nabi dan Rasul pun tidak lepas dari ujian dan cobaan. Miskin kok sabar, Dianiaya kok Ikhlas, jadi jugun Ianfu kok Tulus, jadi romusa kok takdir, apakah ini kehendak Tuhan dan apakah ini tujuan Islam? Kalaw iya barangkali benar kata Desi Ratnasari “Takdir memang Kejam” dengan kata lain Tuhan memang kejam. Atau ini barangkali salah satu model imperialisme kapitaslis yang didoktrin kepada seganap masyarakat Islam sehingga terjebak dalam kungkungan nasib merana. Sehingga selalu mencanangkan pemberdayaan ekonomi Ummat: melalui suaka ekonomi kepada negara-negara adidaya dengan casing “menuntaskan ekonomi dunia ketiga” tetapi sebenarnya adalah model imperialisme baru” semacam Paris club, IMf dan Bank dunia???.
Wajar kemudian jika Bangsa Indonesia yang konon mereperesentasikan penduduk Islam paling banyak di dunia 180 juta , (88, 8 % berbanding 11, 2 non Islam dari 217 juta penduduknya Tapi apa daya, lacur!, ternyata dari penguasaan aspek ekonomi mereka yang mayoritas Islam tidak dapat berbuat banyak. Di Indonesia, Islam hanya dapat berperan 22 % (14 % UKM dan 10% Raskin, koperasi dln), BUMN 24% dan mereka para konglomerat “yang Nota Bene” kaum Muhajirin “bukan beragama Islam” dapat menguasai 54% system ekonomi. Sama halnya dunia global Yahudi dengan penduduk hanya 15 Juta Orang di dunia namun mampu menguasai ekonomi dunia sebesar 40 %, dan Islam yang konon katanya mayoritas dengan penduduk 1, 7 milyard ternyata hanya bisa berperan 20%. Bukankah Indonesia adalah negara emas yang dengan aspek ekonomi paling sempurna, lautan luas, daratan subur tambang dan gas melimpah. Negara kita 2 kali lebih besar dari Eropa, 3 kali lebih besar dari Amerika. Jazirah arab adalah barometer minyak dunia, tapi kenapa Islam tidak dapat berbuat. Barangkali “ Kita Harus Bersabar ini Sudah Takdir”
Sungguh luar biasa jasa Musailamah ak-Kazzab (yang walaupun ia mati demi mepertahankan ideologi kapitalisnya) tapi ia mampu untuk mempengaruhi kaum muslimin untuk tidak berzakat dan meneggelamkan etos kerja muslimin (disimpan di dada saja: teori tanpa aplikasi) di saat khalifah Abu bakar. Begitu juga dengan Snog Hokranje saat Klonialisme belanda di Aceh berlanjut, (BUGIL: Bule Gila) dengan topeng ke Islamannya sebagai ahli fikih, Hafiz al-Qur’an dan sunan al-Bukhari dan Muslim) dapat mempengaruhi ideologi Islam, bagaikan musuh dalam selimut ternyata beliau memiliki maksud busuk berupa penjajahan laten di bumi rencong aceh. Untunglah pemuda-pemudi tampan dan cantik Islam Aceh mencium gelagat ini, Cut Nyak Dien, Cik Di Tiro, Teuku Umar, bersama-sam mengorbankan darah terakhir untuk menghalau-nya sehingga maksud busuk tersebut dapat dimentahkan. Namun hal ini tidak bisa hilang begitu saja, selama dua puluh tahun misi Snock Hockranje di Aceh ternyata telah merasuk ke dalam sel otak siapapun di Indonesia. Bahkan sampai kini ideology yang dibangun Snog Hogranje telah meracuni kita yang ada di sini. Terbukti kebanyakan kita adalah NATO (no action Talk only), mengaku-ngaku Islam tapi sholat jarang, Zakat gak pernah, atau sholat Iya tapi juga Maksiat jalan terus (STMJ), mahasiswa ekonomi Islam Ia tapi tidak pernah berbuat apa-apa termasuk jarang menulis.
Meminjam Istilah Gus Dur, Tuhan tidak Perlu diBela, barngkali ada benarnya, sebab tuhan itu Maha kaya, maha Kasih, maha adil juga dan maha-maha lainnya. Tetapi kenapa kita selalu mengatas nama TUHAN-kan apapun, dalam Istilah ekonomi: Tuhan melalui Rasulnya telah mengatakan : Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”, terutama kaum muslimin. Oleh karena itu yang perlu kita bela dan perjuangkan adalah diri kita sendiri dan kepentingan seluruh masyarakat Islam. Karenanya, apapun yang menjadi Rukun Islam sesungguhnya adalah “pembelaan Tuhan Terhadap Hamba-hambanya dan hambanya terhadap Hambanya” (hablum min annas-hablum min Allah), sebab Allah maha pengasih, Dia tidak ingin hamba-Nya melarat atau fakir karena orang yang fakir itu rentan dengan kekafiran “Kada al-Faqr An-Yakuna Kufran”. Makanya karena kemiskinana dan kepapaan berapa banyak orang Islam yang murtad, karena perut lapar dan pakaian tidak ada mayoritas ummat Islam tidak Sholat karena terlalu sibuk mencari nafkah, terlena oleh dunia. Karena mencari duit untuk membeli baju hari Raya puasa Ramadhan ditinggalkan, kalau miskin lalu siapa yang mengeluarkan zakat karena nisabnya tidak sampai dan siapa yang bersedekah, dan tidak mungkin dapat naik haji kalau modal tidak ada. Artinya untuk menjadi seorang muslim sejati harus juga pake modal biar yang namanya rukun Islam dapat dilaksanakan seluruhnya.
Daulat Alam berupa kelahiran, kematian, jodoh, nasib, dan rejeki. Tetapi di saat yang sama manusia mempunyai daulat makhluk, untuk mengubah takdir, karena memang sebenarnya takdir itu konsep terbuka, tidak pernah kita ketahui dengan presisi, tetapi bisa kita prediksikan dan rencanakan. Manusia dapat memperbaiki dirinya dengan mengembangkan daulat makhluk ini, misalnya jika seseorang dilahirkan dalam keadaan kere, maka dia berhak merubah daulat alam itu untuk menjadi cukup atau kaya. Banyak contoh orang-orang yang bisa menerobos daulat alam ini. Jagoan yang berani mengambil resiko untuk mendapatkan yang terbaik. Seorang kriminal jalanan yang akhirnya menjadi raja seperti Ken Arok, seorang tukang pukul yang akhirnya menjadi Mahapatih sebuah kerajaan besar seperti Gajah Mada, atau seorang anak guru yang akhirnya menjadi presiden seperti Sukarno.Tetapi sayangnya bahwa jagoan2 ini adalah satu di antara seribu atau bahkan mungkin sejuta. Bagi mayoritas manusia, kemampuan itu tidaklah memadai untuk merubah daulat alam, karena itu perlu adanya kekuatan kolektif yang dilembagakan.
Atas “Nama” Mahasiswa Melawan Ketidakdilan Ekonomi
Mahasiswa adalah generasi muda yang dikenal memiliki semangat, penuh dedikasi, enerjik, cerdas dan sudah barang tentu berilmu. Tegaknya bangsa ini tidak terlepas dari andil perjuangan mahasiswa. Tahun 1928, mahasiswa muda Stovia seperti Wahidin Sudiro Husodo. Bersama rekan-rekannya, melahirkan Sumpah Pemuda, yang bisa mengikat komponen bangsa untuk bersatu, di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda. Setelah itu, lahirlah sosok Bung Hatta dan Sutan Syahrir, dengan kumpulan Pelajar Indonesia-nya di negeri Belanda, memberi semangat kepada pemuda lain, untuk lepas dari kungkungan penjajah. Selanjutnya Adam Malik dan kawan-kawan, dengan semangat membaranya, mendorong agar kaum tua seperti Sukarno dan lainnya cepat-cepat memproklamirkan kemerdekaan, selepas Hiroshima dan Nagasaki dibom. Tahun 1966, ketika pemerintahan Bung Karno sedang tidak menentu, tampillah sosok-sosok mahasiswa, seperti Arif Rahman Hakim, Cosmas Batubara, Abdul Gafur. Mereka memberikan semangat kepada rakyat agar melaksanakan TRITURA yang melahirkan orde baru Tak hanya itu, ketika di tahun 1974, di saat pemerintahan orde baru memberikan kebijakan yang kurang sesuai dengan kebanyakan rakyat, Hariman Siregar dan kawan-kawan juga turun ke jalan. Dan meletuslah peristiwa MALARI. Terakhir dan masih hangat dalam benak kita, di tahun 1998, kita menyaksikan bagaimana peranan mahasiswa mendobrak kebekuan politik Suharto. Terjadilah apa yang dinamakan reformasi.
Menurut hemat saya, secara subtansial pergerakan mahasiswa di atas adalah perlawanan terhadap yang namanya ekonomi kapitalis, sebab imperilisme dan klonialisme merupakan metode kapitalis untuk menumpuk kekayan melalui pengambilan hak orang lain secara paksa. Tritura juga hasil konspirasi politik ekonomi kapitalis sehingga menaikkan harga begitu mahal dan membuat bangsa ini krisis, begitu juga dengan kasus MALARI dan reformasi.
Tak bisa dipungkiri bahwa ekonomi kapitalis menurut “Marx memunculkan Inefesiensi, alienasi dan penindasan” telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi kemajuan bangsa ini. Namun, di balik itu semua ternyata ekonomi kapitalis memiliki efek-efek negatif. Pengangguran, penimbunan barang, jeratan-jeratan hutang, krisis dunia yang terus berulang-ulang, merupakan sebagian kecil dari bencana-bencana ekonomi dunia yang ditimbulkan oleh ekonomi kapitalis. Terjadinya kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga dan ekploitasi ekonomi dari sekelompok negara maju terhadap negara-negara berkembang telah menciptakan penjajahan gaya baru. Kekacauan yang terjadi pun tidak hanya dalam bentuk ekonomi saja, tetapi telah meluas menyentuh pada wilayah hukum, sosial budaya, bahkan kancah pertarungan politik.. Oleh karena itu peran mahasiswa diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang sedang siap untuk meledak. Sebuah revolusi ekonomi yang lebih berkeadilan, yang mampu menjadi solusi, baik dalam tataran praktis maupun teoritis. Hari ini, rakyat menunggu pemuda Islam patriotik baru, menapak jejak Wahidin, Hatta, Adam Malik, Arief Rahman Hakim dan Hariman Siregar baru, yang siap melakukan revolusi terhadap kondisi yang terjadi. Dibutuhkan mahasiswa yang masih memiliki semangat idealisme dan hati nurani terhadap kondisi bangsa, khususnya di bidang ekonomi. Bukan hanya kaya defenisi tanpa implementasi.
Salah satu hasil ijtihad discovery baru dalam bidang ekonomi ditawarkan para sarjanawan Islam, paling tidak sebagai tawaran alternatif ekonomi baru, yang dianggap sebagai penambal sulam kekurangan ekonomi konvensional (baca: Kapitalis). Sistem ini jelas memiliki jargon “mengharamkan BUNGA” dianggap sebagi Riba, dimana-mana akhir-akhir ini kampnye peribaan Bank Konvensional sangat marak, bahkan beberapa University ikut serta dengan membuka fakultas ekonomi syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. sehingga ke depan akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma, pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang komprehensif. Bukan hanya sekedar menelorkan sarjana berpredikan “antri” untuk menjadi PNS tapi juga menciptakan wadah ekonomi Umat secara mandiri dan tidak mengharap welas kasihan dari Orang lain. Dan juga bukan penganut taqlid “Ikut-Ikutan” karena Ekonomi Islam sangat prospektif secara individual sehingga menciptakan karakter individu yang memiliki pemahaman ekonomi syari’ah tetapi implementasi konvensional.
Benarkah ekonomi Islam akan mampu bersaing secara kompetitif dengan ekonomi konvensional yang suadah lam berkiprah??, dulu kala ekonomi sosialis sesak nafas dibuat ekonomi kapitalis, sekarang ekonomi Syari’ah mencoba menggulingkan kapitalis, barang kali Ibarat pertarungan antara David dan Goliat saja, akankah kita pemuda syari’ah hanya menanti datangnya dewi Fortuna dari kayangan. Atau jangan-jangan munculnya ekonomi syari’ah hanya sekedar “ungkapan kepapaan kita terhadap sistem yang membelenggu” tanpa adanya niatan untuk membuat perubahan (Shifting Paradigm) atau REVOLUSI ke arah yang lebih maju. “Bagaimana mau memandang matahari menatap bulan Purnama saja tidak sanggup”. ………….Wallohu A’lam.

Barangkali saatnya kita turun ke jalan robohkan setan yang dipersimpangan jalan!!!
By: Iwan Falls


[*] Dipresentasikan pada acara FOSSEI hari Jum’at tanggal 25 April 2008 di Kampus BENING dan Kampus PERLAWANAN STAIN Batusangkar. Penulis adalah Advisory Board Pada El-Dies (lembaga Diskusi ekonomi Syari’ah)

CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN ISLAM

CACAT KEHENDAK DALAM HUKUM PERJANJIAN ISLAM
(Wilgebrek Atau عيوب الرضا)
Oleh: Asy’ari Hasan, M. Ag.


Suatu akad yang yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait sah sepanjang didasarkan pada kehendak bersama yang berasaskan kesepakatan dan keinginan bebas oleh kedua belah pihak, sebaliknya ada beberapa hal yang mengakibatkan kehendak seseorang cacat oleh karena keadaan teretentu yang secara hukum mengakibatkan suatu akad ataupun ikatan itu batal atau dapat dibatalkan.


Kata Kunci: toesteming, Wujudu at-Trady, sihhatu at-tarady, bedrog, awalig,
dwaag, Undue Influence, al-ghalad/al-khotok, at-tadlis at-takrir, al-
ikrahi

A. MUQADDIMAH
Tindakan hukum adalah suatu kehendak yang murni untuk melahirkan suatu akibat hukum tertentu yang diakui keabsahannya oleh hukum. (Syamsul Anwar, hlm. 58) Dan akad adalah kehendak murni semacam itu Menurut Az-Zarqa kehendak atau keinginan dibagi ke dalam dua bagian: pertama yaitu الارادة الحقيقية yaitu keinginan hati yang tidak nampak, kedua: اﻻرادة الظا هرة atau kehendak seseorang yang nampak dan merupakan ungkapan dari kehendak hakiki seperti serah terima. (Mustafa Ahmad Az-Zarqa, hlm. 263). Oleh karena itu suatu akad atau Perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak yaitu masing-masing para pihak ridha/rela akan isi perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak dan tentunya harus ada pilihan.(Al-Jassas: 294)
Sebagaimana disebutkan dalam BW pasal 1320 secara umum agar suatu transaksi dapat terjadi maka hendaklah para pihak-pihak yang terkait memiliki adanya kehendak, persetujuan, dan perundingan atau kesepakatan. (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, hlm. 21) Dua pihak atau lebih berkehendak untuk mengikatkan diri, dan kehendak itu sudah barang tentu diberitahukan kepihak lainnya. Maka pihak-pihak akan diminta persetujuannya (toesteming) untuk menanggapi tawaran suatu kehendak. Persetujuan atau keadaan ridha (Wujudu at-Trady) haruslah merupakan sesuatu yang nyata dan sah (sihhatu at-tarady) tanpa dipengaruhi unsur-unsur maupun efek-efek lain yang mengakibatkan kerelaan seseorang tidak sempurna. Barulah kemudian setelah adanya persetujuan dilakukan perundingan untuk membahas hal-hal yang lain yang berkaitan dengan kehendak yang telah disepakati bersama. Hal ini sebagimana di sebutkan dalam kaedah fikih:
ﺍﻷﺼﻞ ﻓﻲ ﺍﻠﻌﻗﺩ ﺮﺿﺎﺍﻠﻣﺘﻌﺎﻗﺩﻴﻥ ﻭﻧﺘﻴﺟﺗﻪ ﻣﺎﺍﻠﺘﺰﻣﺎﻩ ﺒﺎ ﻠﺗﻌﺎﻗﺩ
Pada dasarnya perjanjian itu adalah kesepakan kedua belah pihak dan akibat hukmnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. (Asjmuni A. Rahman, hlm. 28)

Maka suatu akad baik dalam hukum Islam maupun perdata tidak akan sah jika dnegan kehendak seseorang tidak sempurna dikarenakan adanya hal-hal yang memaksa atau menuntut dia untuk melakukan suatu akad maupun perjanjian. Suatu kehendak yang murni adalah kehendak yang dinyatakan secara bebas dan dalam suasana yang wajar dengan tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menyesatkan dan membuat kehendak menjadi tidak sempurna ini mengandung suatu cacat dan oleh ahli-ahli hukum menyebutnya dengan istilah cacat perizinan (vices du consentement/عيوب الرضا) serta dalam bahasa Belanda ditetapkan sebagai Wilsgebrek. (Abd. Ar-Rizqi Ahmad As-Sanhury. hlm. 286).
Menurut Az-Zuhaily yang dimaksud dengan cacat kehendak atau عيوب الرضا. Adalah perbuatan yang dilakukan dengan kehendak yang tidak sempurna untuk melakukan suatu perikatan. Adapun hal-hal yang termasuk kepada cacat kehendak (uyud ar-ridha) ini adalah: dan penipuan (bedrog) kekhilapan (awalig), paksaan (dwaag) dan penyalahgunaan keadaan atau pengaruh tidak pantas (Undue Influence). Sementara dalam Hukum Islam karena semangat Obyektivisme dalam hukum (Syamsul Anwar, hlm. 79) maka urutan cacat kehendak adalah: paksaan (al-ikrahi) penipuan, (at-tadlis at-takrir), kekhilafan (al-ghalad/al-khotok) dan al-ghobnu.
Adapun dasar hukum dari cacat kehendak adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:
ان الله وضع عن امتي الخطﺄ و النسيان و مااستكر هو عليه (ابن مجه)
Sesungguhnya Allah SWT meringankan bagi ummatku suatu kesalahan, lupa dan apa yang membuatnya terpaksa

B. PAKSAAN (اكراه/ dwang)
Paksaan merupakan cacat kehendak yang paling fatal dalam hukum Islam karena sifatnya sangat kongkrit, mangekang kehendak dan memaksanya dengan seketika. Paksaan secara etimologi adalah menyuruh orang lain pada perkara yang tidak dikehendakinya, sementara menurut para Fuqoha’ paksaan adalah menyuruh seseorang untuk mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dikehendakinya/disukai, tanpa adanya pilihan untuk melakukan atau meninggalkan. 0Sementara menurut Liquat Ali Khan paksaan adalah memaksa tanpa hak kepada seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa izin dan dengan cara menakut-nakuti atau dengan ancaman. (Liaquat Ali Khan Niazi , hlm. 111)
Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa paksaan adalah suatu paksaan psikis yang merupakan tekanan atau ancaman terhadap seseorang dengan menggunakan cara-cara yang menakutkan agar orang yang dipaksa itu terdorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam hukum Islam secara umum Ikrah atau paksaan dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. اكراه ملجئ أو التام yaitu paksaan yang tidak ada opsi pilihan di dalamnya dan pihak yang terancam tidak bisa lolos karena ancaman dari paksaan tersebut benar-benar nyata dan sangat berat seperti: ancaman pembunuhan atau merusak sebagian anggota tubuh, paksaan seperti ini dapat juga dikatakan dengan اكرا ه قوي (paksaan berat)
2. اكراه ﻏﻴﺮﻤﻟجئ أو نافص Ancaman yang tidak merusak nyawa dan anggota tubuh lainnya, akan tetapi hanya berupa ancaman kesedihan atau duka yang sangat dalam seperti, pukulan ringan, merusak sebagian harta dan diturunkan pangkat serta jabatannya bila tidak melakukan paksaan tersebut. Paksaan seperti ini bisa disebut juga dengan اكراه صغير (paksaan yang)
Adapun syarat-syarat untuk terwujudnya suatu paksaan adalah harus terpenuhinya hal-hal tersebut di bawah ini yaitu:
a. Pengancam mampu menjalankan ancamannya
b. Si terancam tahu atau dapat menduga bahwa ancaman pastilah dijatuhkan bila tidak menuruti paksaan.
c. Ancaman sangatlah memberatkan si terancam.
d. Ancaman bersipat segera di mana si terancam merasa tidak ada kesempatan untuk lolos.
e. Ancaman itu tanpa hak dan merupakan perbuatan melawan hokum. ( Wahbah az-zuhaily, hlm. 215)
Sedangkan akibat hukum dari paksaan adalah dalam hukum positif sebagaimana disebutkan dalam pasal 1323-1324 paksaan tidak mengakibatkan perjanjian batal demi hukum melainkan hanya dapat dibatalkan artinya batal demi hukum adalah tidak ada akibat hukum dari suatu perjanjian tersebut, hanya dapat dibatalkan atau dalam arti perjanjian tersebut sah tapi bisa dibatalkan oleh orang yang akad. Sedangkan dalam hukum Islam para ulama berbada pendapat tentang akibat hukum dari paksaan yaitu:
1. Jumhur Ulama menguatkan bahwa perjanjian tersebut batal sehingga tidak ada akibat hukumnya.
2. Sementara Hanafiyah (sebagian besar) berpendapat bahwa perjanjian tersebut fasid dan bukan batil, akan tetapi apabila ancaman sudah hilang maka pihak terancam mempunyai hak pilih (khiyar) untuk membatalkan atau meneruskan perjanjian tersebut. Dalam hal ini menurut Hanafiyah akadnya adalah mauquf. Menurut Hanafiyah tingkatan suatu akad terbagi kepada 5 tingkatan yaitu: اللازم yaitu merupakan akad yang paling sempurna wujudnya dan bisa melahirkan akibat hukum penuh di mana tidak lagi tergantung pada izin pihak ketiga atau tidak lagi mengandung khiyar salah satu pihak. النافذyaitu Akad yang di dalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak, الموقوف Yaitu akad yang tergantung pada izin pihak ketiga. الفاسد akad yang rusak karena menimbulkan kerugian, الباطل akad yang tidak sah sama sekali. (Az-Zarqa’, , hlm. 371-376).

C. PENIPUAN (التقرير/التدليس Bedrog)
Unsur cacat kehendak selanjutnya adalah penipuan yaitu penyesatan dengan sengaja oleh salah satu pihak terhadap pihak lawan janji dengan memberikan keterangan-keterangan palsu disertai tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya agar memberikan persetujuannya di mana jelas bahwa kalau tidak karena tipu muslihat itu dia tidak akan membuat perikatan dengan orang bersangkutan, atau paling tidak bukan dengan syarat yang telah disetujui. Sementara menurut az-Zarqa’ penipuan secara bahasa adalah menjebak seseorang ke dalam gharar, sedangkan secara terminologis التغرير atau penipuan adalah sebagai tindakan mengelabui yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain baik dengan perkataan (semata bohong) maupun dengan serangkaian perbuatan (tipu muslihat) untuk mendorongpihak lain melakukan akad di mana kalau bukan karena tindakan penipuan tersebut ia tidak akan memberikan perizinan. (Az-Zarqa’, hlm. 368). Sedangkan dasar hukum penipuan adalah hadits nabi yang berbunyi:
ليس منا من ﻏشنا
“Tidak termasuk Umatku seorang penipu” HR. Jama’ah kecuali B Nasa’i dari Abu Khuroirah

Penipuan dalam hukum Islam sebagaimana dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili ada tiga macam yaitu:
1. التقرير الفعلي Rangkaian perbuatan penipuan melalui perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk menyesatkan pihak lain dengan cara memperlihatkan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Contohnya adalah المصراة yaitu menahan air susu binatang ternak dengan cara mengikat putting susunya selama beberapa hari agar susu binatang tersebut mengumpul dan berisi yang kemudian jika dijual dapat menarik orang untuk membeli. Adapun akibat hukum dari at-takrir al-fi’ly menurut jumhur ulama fiqh kecuali Hanafiyah adalah: para pihak yang tertipu memiliki hak atau opsi untuk memilih (khiyar) yaitu:
a. Tetap mempertahankan barang yang dibeli tanpa meminta ganti rugi atau meminta keseimbangan prestasi
b. Membatalkan atau mengembalikan barang atau benda yang telah dibeli kepada penjualnya. (Wahbah Az-Zuhaily; hlm. 218)
Adapun Landasan hukum yang diambil para Fuqoha’ ini adalah hadits nabi yang berbunyi:
لاتصروا الابل والغنم فمن ابتعها فهو بخير النظرين بعدان يحلبها ان شاء امسكها و ﺇﻦ شاء ردها وردمعهاصاعامن تمر
“janganlah kamu mengikat puting susu keledai dan kambing, danbarang siapa yang telah membelinya maka ia mamiliki dua opsi setelah memerah susunya (dan ternyata ia tertipu), yaitu tetap mempertahankan, atau mengembalikannya dan membawa besarnya satu sak tamar,” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Sementara Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa, tidak ada hak bagi pembeli untuk membatalkan transaksi tersebut, akan tetapi ia punya hak untuk menukar apa yang ia beli itu disebabkan adanya kekurangan atau pembelian tersebut tidak sesuai dengan keinginannya dengan barang yang lebih sempurna.
2. التقرير القولي Yaitu rangkaian perbuatan penipuan yang dilakukan oleh salah satu dari aqid dengan perkataan dusta sehingga mendorong pihak lawan untuk melakukan perjanjian walaupun tidak adanya keseimbangan prestasi (al-Ghabnu) atau disebut juga sebagai penipuan semata bohong. Contohnya adalah: seorang penjual pakaian mengatakan bahwa barang saya ini adalah yang paling baik dari segala merk yang lain dan asli made in America, ternyata setelah dibeli, pakaian tersebut tidaklah lebih baik dan bukan asli made in America. Hanya saja penipuan perkataan dengan perbuatan di mana pada yang terakhir ini penipuan terjadi tipu muslihat tanpa terlihat apakah penipuan itu mengakibatkan pihak tertipu mengalami ketidak seimbangan prestasi yang menyolok atau tidak. Sedangkan penipuan dengan semata bohong baru ada apabila terjadi ketidak seimbangan prestasi yang menyolok. Hukum dari penipuan semata bohong adalah haram. (wahbah Az-Zuhaily, hlm. 220) Adapun akibat hukum dari penipuan semata bohong berbeda akibat hukumnya dalam dua hal yaitu:
a. Wilayah perjanjian amanah: yaitu pihak kedua percaya sepenuhnya kepada pihak pertama contohnya adalah akad murabahah. Dalam akad amanah semata bohong seperti ini sudah dianggap penipuan sehingga pihak pembeli dapat membatalkan perjanjian. Dalam hukum Islam diadakan perjanjian amanah karena hukum Islam menganut sistem hukum berdasarkan etika (etika legal).( Az-Zarqa’, hlm. 377)
b. Dan wilayah perjanjian yang bukan amanah yaitu penipuan semata bohong yang tidak diangap penipuan yang berakibat hukum, kecuali kalau dari transaksi itu terjadi ketidak seimbangan prestasi. Adapun ukuran ketidak pastian ini tidak ditetapkan, dan para ulama berbeda pendapat.
3. التغرير بكتمان الحقيقة yaitu perbuatan menyembunyikan aib atau kekurangan dari suatu benda yang diperjual belikan. Adapun akibat hukum dari menyembunyikan aib seperti ini menurut az-Zarqa’ adalah dengan cara memberikan hak khiyar kepada pihak tertipu yaitu mengmbalikan barang atau membatalkan akad. Sedangkan landasan hukum dari pelarangan perbuatan menyembunyikan aib ini adalah hadits nabi yang berbunyi:
المسلم اخو المسلم لايحل لمسم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الابينه له
“Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang Muslim untuk menjual kepada saudara barang jualan yang mengandung kecacatan (‘aib), kecuali setelah ia menjelaskan ‘aib tersebut kepadanya”. Hadits riwayat Ibnu Majah dari Utbah bin Amir.
Dari hal di atas dapat dipahami bahwa penipuan bukanlah sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya. Perjanjian yang dilakukan dengan penipuan dapat dibatalkan. Bedanya dengan paksaan ialah bahwa ia sadar bahwa ia sadar kehendak itu tidak ia kehendaki, bahwa orang tidak menghendaki tetapi ia harus mau, sedangkan dalam penipuan kehendaknya itu keluri demikian pula kesesatan/kekhilapan tanpa ia sadari sebelumnya. (Purwahid Patrik, SH, hlm. 59)
D. KEKHILAFAN (awalig/ الخطاء والخلط)
Kekhilafan berarti suatu keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk menggambarkan sesuatu tidak sebagaimana kenyataan. dengan kata lain kekhilafan adalah gambaran keliru pada salah satu pihak terhadap obyek atau pihak lawan dalam perjanjian. As-Sanhury, hlm, 350). sementara Patrik Purwahid, SH. mengatakan bahwa suatu kekhilafan akan terjadi jika orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai obyeknya. (Purwahid Patrik .SH. hlm. 58.) dapat dikatakan bahwa suatu kekhilafan bisa terjadi baik terhadap obyek akad maupun subyek (error in persona) akad. [1] Sri Soedewi Masjchon Sofwan, hlm. 22). Adapun contoh kekhilafan terhadap obyek akad adalah: membeli barang yang antik ternyata tidak antik, sedangkan contoh kekhilafan trhadap subyek akad adalah seperti sesorang semestinya ingin membuat perjanjian dengan seorang pelukis bernama Basuki Abdullah tetapi keliru dengan Darsuki Abdullah, atau kesalahan pemilihan pasangan dalam pernikahan karena mempelai kembar. Untuk mengatahui kekeliruan tentang obyek ada tiga yaitu:
Ia menjelaskan maksudnya secara tegas
Disimpulkan melaui situasi
Dipahami dari hakikat sesuatu (Wahbah Az-Zuhaily, hlm. 217.
Sementara dalam hokum positif suatu kekhilafan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dipahami dari hakikat sesuatu (zelsftandingheid van de zaak) yaitu sifat dari sesuatu benda yang dijual yang bagi kedua belah pihak merupakan alasan sesungguhnya untuk melakukan jual-beli atau transaksi tersebut.
2. Dapat diketahui (kenbaarheid) artinya bahwa pihak lawan mengetahui atau seharusnya memahami sebagai manusia yang normal bahwa telah terjadi kekhilafan.
3. Syarat lain adalah dapat dimaafkan (Verrschoonbaarheid) yaitu suatu kekhilafan tidak dapat dimintakan kalau yang meminta itu berdasarkan atas kebodohannya.(Purwahid, SH, hlm. 59)
Akad adalah batal dalam suatu hukum Islam apabila suatu kekhilafan atau kekeliruan terjadi dalam benda yang berbeda jenis atau sama jenisnya namun terdapat perbedaan besar dalam kegunaan dan atau menfaatnya. Berbeda jenis maksudnya adalah bahwa salah seorang berkeinginan untuk membeli sepatu hitam misalnya akan tetapi yang dibeli adalah sandal. Di sini terjadi kekhilafan pada benda yang jenisnya sama akan tetapi ada perbedaan yang sangat mencolok tentang hakekatnya. Kekhilafan seperti ini akan batal dengan sendirinya, karena dianggap bahwa objeknya tidak ada. Namun apabila jenis barangnya sama namun terdapat perbedaan tentang hakekat barang, hanya saja tidak terlalu mencolok melainkan hanya menyangkut sifat yang diinginkan pada barang itu, maka dalam hokum islam akad tidak batal tetapi yang membeli diberikan hak khiyar wasf. Para ahli hokum Islam berpendapat bahwa kriteria kekhilafan yang dapat menyebabkan akad batal adalah ada atau tidaknya yang dikehendaki pada barang tersebut.

E. PENYALAHGUNAAN KEADAAN
Cacat kehendak yang keempat ini merupakan perkembangan yaitu penyalahgunaan keadaan seperti orang Inggris mengatakan undue influence, dalam KUHP atau hukum Belanda terbaru hal ini telah ditetapkan menjadi salah satu dari cacat kehendak dari tahun 2000.
Sebagaimana diketahui justum pretium adalah menjadi dasar dari perjanjian yang timbal balik yang mengharapkan adanya hubungan yang pantas dan seimbang antara kedua belah pihak dalam suatu perjanjian. Teori ini menyatakan bahwa apabila tidak ada keseimbangan yang pantas dalam hubungan antara kedua belah pihak dianggap perjanjian itu tanpa sebab, dan di dalam hukum positif diakui pula jika salah satu pihak merugikan pihak lain dalam suatu perjanjian dapat disebabkan juga karena penyalahgunaan keadaan ini.
Tanpa suatu sebab dalam suatu perjanjian adalah bertentangan dengan kesusilaan, sehingga apabila terjadi penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak, karena keadaan darurat dan tidak seimbang maka perjanjian itu dianggap dilakukan dengan sebab yang tidak diperbolehkan maka perjanjian itu adalah tidak berlaku atau batal demi hukum.
Suatu penyalahgunaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. Prof. Purwahid, Patrik, SH, hlm, 59) Sebagai contoh adalah seseorang yangmencari kerja dikarenakan dalam kesusahan atau susahnya mencari lowongan kerja maka sebuah perusahaan menerima dia tetapi dengan syarat upah yang sangat rendah dan tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan primernya sebagai manusia. Maka perusahaan yang seperti ini dapat dikatakan memanfaatkan situasi sipelamar dengan cara menyalahgunakannya.
Sementara dalam hukum Islam penyalahgunaan keadaan belum diatur sedemikian rupa akan tetapi dalam Islam ada istilah hukum yang hampir sama tujuan dan maksudnya dengan penyalahgunaan kehendak ini yaitu: الغبن. Secara bahasa al-Ghabnu adalah penipuan dalam jual beli atau atau bisa dikatakan an-naqsu/ النقص adanya suatu kekurangan, (Dr. Mahmud Yunus, hlm. 290) Sedangkan menurut istilah al-ghobnu adalah:
1. Menurut Fuqoha’
ان يكون احد العوضين غيرمتعادل مع الاخربان يكون اقل من قيمته اواكثر منها
Adanya Ketidak sessuaian antara seseorang yang berakad dengan pihak lainnya dengan cara meneurunkan harga atau memperbanyaknya. (Wahbah az-Zuhaily, hlm: 221)
2. Sementara menurut Az-Zarqa’ al-ghabnu adalah:
ان تطغي مصلحة احد المتعاقين على ﻤصلحة الاخر بحيث لايكون تواز ماياخذ و مايعطي
Berlebihnya maslahat dari salah satu pihak yang melakukan perjanjian kepada pihak lainnya dengan cara ketidak seimbnagn prestasi antara pendapatan dan penegluaran (pendapatan dan penerimaan). (Az-Zarqa’ hlm. 378)
3. Selanjutnya adalah menurut As-Ssanhury yaitu:
عدم التعادل بين مايعطيه العاقد وماﻴﺄخذه
Tidak adanya keseimbangan antara yang diberikan oleh akid dan yang diambilnya. (As-Sanhury, hlm: 446).
Dari ketiga istilah ini dapat disimpulkan bahwa al-Ghabnu merupakan cacat kehendak yang di dalamnya tidak terdapat keadilan atau keseimbangan prestasi antara satu pihak dengan pihak lainnya. Menurut As-Sanhury dari istilah tersebut di atas dapat diambil kesimpulan ke dalam tiga hal yaitu:
1. Bahwa al-Ghabnu tidak mungkin terjadi kecuali dalam akad-akad Mu’awadhah yaitu akad adanya timbal balik (tukar ganti) antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, sehinggadalam akad-akad tabarru’ hal ini tidak mungkin terjadi karena seseorang memberikan sesuatu dengan tanpa mengharapkan balasan.
2. Al-Ghabnu sering sekali terjadi pada waktu ketika akad dilakukan / berlangsung.
3. Dalam mu’malah al-ghabnu sulit sekali menghindarinya. Karena jarang sekali dalam akad mu’awadah terjadi keseimbangan prestasi antara pendapatan dan pemberian salah satu pihak yang melakukan akad. (as-Sanhury, hlm. 346)
Dalam hukum Islam al-ghobnu kemudian dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. الغبن اليسير yaitu suatu penetapan pengurangan harga di bawah standar umum yang tidak terlalu mencolok, seperti harga suatu benda sebenarnya adalah Rp. 100.000,- namun orang mengerti jelas harga tersebut Rp. 100.000,- menurunkannya dengan harta yang lebih murah Rp. 90.000,- atau Rp. 95.000,- atau mengurangi harganya sepuluh persen dari harga yang sesungguhnya.
Al-Ghabnu al-yasir ini dalam hukum Islam tidak masalah dan tidak memiliki akibat hukum dan tidak bisa dibatalkan, karena hal ini sangatlah sulit untuk menghindarinya dalam dunia Mua’malah, dan hal ini biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang dan telah maklum. Akan tetapi dalam hal ini oleh para ulama Hanafiyyah mengecualikannya ke dalam tiga hal di mana apabila terjadi maka dibolehkan untuk membatalkannya dikarenakan mengandung unsur tuduhan atau kecurigaan, yaitu:
a. Transaksi terhadap orang yang utangnya menumpuk, apabila si penghutang menjual sesuatu dari hartanya dengan cara aal-ghamnu al-yasir maka para pihak yang memberi pinjaman memiliki hak untuk membatalkan akad.
b. Transaksi terhadap orang yang sakit yang sudah ada tanda-tanda untuk meninggal. Jika menjual belikan sesuatu dengan cara al-ghabnu al-yasir maka sah bagi ahli waris setelah meninggalnya si sakit untuk meminta pembatalan akad, kecuali ada kerelaan antara pihak-pihak untuk menghilangkan al-ghabnu.
c. Jika seorang pengurus wasiat menjual harta anak yatim dengan al-ghabnu al-Yasir kepada orang yang tidak boleh menjadi saksi baginya, seperti anaknya dan istrinya maka akad ini adalah batal.
2. العبن الفاخش yaitu suatu penetapan standar harga di atas standar umum dengan cara melampaui batas dan memberatkan misalnya adalah bahwa harga suatu benda sebenarnya adalah Rp. 100 namun orang yang mengerti harga tersebut menetapkannya di bawah standar harga tersebut dengan mengatakan bahwa harga sesungguhnya adalah Rp. 60 atau Rp. 70. Adapun akibat hukum dari al-ghabnu al-fakhiyis para ulama berbeda pendapat yaitu:
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa al-ghabnu al-fakhyis tidak dapat dibatalkan dan tidak boleh mengembalikan obyek akadnya terkecuali jika terjadi serangkaian penipuan di dalamnya seperti, seorang penjual melebih-lebihkan nilai barang dagangannya yang sebenarnya tidak sesuai dengan hakekat barang itu. Ulama Hanafiyah mengecualikannya dalam tiga hal yaitu: Harta benda baitulmal, harta benda waqaf dan harta orang-orang yang muhjur’alahim (orang-orang yang tertahan atau yang tidak diberikan bagiannya dalam harta warisan disebabkan gila idiot dlnn). Maka apabila harta yang ada di atas diperjual belikan dengan al-Ghabnu al-fakhis walaupun tidak dengan serangkaian penipuan maka hal tersebut adalah batal.
b. Ulama Hanbaliyah berpendapat bahwa al-ghabnu al-fakhis ada akibat hukumnya baik itu dilakukan beserta serangkaian penipuan maupun tidak. Maka bagi Magbun memiliki hak untuk membatalkan akad tersebut dalam tiga hal yaitu:
1) تلقي الركبان yaitu Menyongsong kafilah yang datang dari luar kota dan mengatakan kepada mereka bahwa barang yangmereka harganya merosot di pasar, dengan maksud untuk menipu mereka agar mereka menjual barangnya lebih murah. Maka bagi makbun di sini diberikan hak fasakh untuk membatalkannya. Hal ini berdasarkan kepada hadits nabi yang berbunyi:
لا تلقو الركبان
Janganlah kamu menyongsong kafilah di luar. (Muttafaq Alaih)
2) النجش yaitu jual beli di mana pihak ketiga melakukan sesuatu perbuatan yang mengakibatkan harga barang menjadi naik dan pihak ketiga itu bersekongkol dengan pihak pertama. Dalam hal ini ditetapkan khiyar bagi pembeli.
3) المسترسل yaitu Seorang pembeli yangtidak mengerti harga suatu benda, dia hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh si penjual tanpa ada tawar-menawar, namun beberapa saat setelah terjadi jual beli ia memahami bahwa ia telah ditipu, maka dalam kasus ini si pembeli diberikan hak khiyardan jual beli tersebut batal.
c. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa al-ghabnu al-fakhis tidak memiliki akibat hukum walaupun diserta dengan serangkaian penipuan maupun tidak. Karena al-ghabnu kebanyakan terjadi disebabkan oleh kelalaian dari makbun (yang tertipu).(Wahbah Az-Zuhaili, Hlm. 224).

F. IKHTITAM
Dari berbagai penjelasan di atas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa dalam hukum Islam maupun hukum positif atau bahkan dalam hukum-hukum lain seperti KUHP Belanda menetapkan suatu kebebasan untuk melakukan perikatan maupun perjanjian. Yaitu adanya kehendak murni para pihak-pihak yang akan melakukan akad. Maka apabila kehendak para pihak tidak murni disebabkan adanya unsur-unsur cacat kehendak, seperti adanya paksaan, penipuan, kekhilafan dan ketidak seimbangan prestasi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Ketika tiada gading yang tak retak!!



































DAFTAR PUSTAKA



Al-Jassas, Al-Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikri, tt), II: 294
Asjmuni A. Rahaman, Qaedah-Qaedah Fikih (Qawaid al-Fiqhiyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976
As-Sanhury, Ar-Rizqi , Ahmad, Abd., Nazariyatul ‘aqdi, Beirut: Dar al-Fikr, tt). Hlm. 246
Az-Zarqa, Ahmad, Mustafa, al-Madkhal al-fiqihiyu al-ammah, Beirut: Dar al-Fikri, 1968.
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, (Hukum Perjanjian dalam Islam), Jakarta: Sinar Grafika, 1996
Liaquat Ali Khan Niazi, Dr. Law of Contrac, Lahore: Nisbed Road, TT) hlm. 111
Mahmud Yunus, Dr. Kamus, Jakarta: Hidayah Agung
Purwahid, Patrik, SH, Prof., Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju. 1994
Sofwan, SH. Hukum PERDATA: Hukum perutangan, Yogyakarta HPFH UGM, 1980
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, SH, Hukum Perutangan, (Yogyakarta: HPFH UGM, 1980), hlm.18-21
Syamsul Anwar, Teori Kausa dalam Hukum Perjanjian Islam (Suatu kajian asas Hukum), Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Suka 2000